OPINI
HIV/ AIDS DAN NARKOBA
DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
P Riana Prapdi (Pastor)
HIV/ AIDS DAN NARKOBA
DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
P Riana Prapdi (Pastor)
Pengantar
Kasus-kasus HIV/ AIDS (Human Immuno deficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome) dan narkoba telah menjadi epidemik di tengah masyarakat saat ini. Hal ini bukan saja menimbulkan kekhawatiran mendalam tetapi juga berkaitan dengan ketidakpedulian masyarakat tentang HIV/ AIDS dan narkoba karena ketidaktahuan. Tidak sedikit pula orang masih mengkaitkan masalah ini dengan mitos-mitos tertentu. Tetapi yang lebih parah adalah kasus ini telah melibatkan generasi muda kita dan sikap diskriminatif terhadap para pengguna narkoba dan orang dengan HIV/ AIDS (ODHA).
Kondisi seperti ini tidak bisa didiamkan terus-menerus. Adalah tantangan bagi kita semua untuk mengambil sikap secara bijaksana dan konkret mengimplementasikannya dalam gerakan saling bahu-mambahu. Persoalannya bukan sekedar membongkar pemahaman yang keliru mengenai HIV/ AIDS dan narkoba tetapi menyangkut pola dan gaya hidup yang telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Kita perlu mengkaji pola dan gaya hidup tersebut agar generasi muda tidak menjadi 'generasi yang hilang'.
Dalam paparan singkat ini, saya akan coba sajikan kepedulian agama-agama terhadap HIV/ AIDS dan narkoba dari sudut pandang Katolik. Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba tidak berdiri sendiri tetapi mesti ditempatkan dalam kerangka usaha terus-menerus membangun 'budaya kehidupan'. Akan kita lihat identifikasi pokok permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba, pandangan mengenai keluhuran martabat manusia dan apa yang bisa kita buat.
HIV/ AIDS dan Narkoba : Apa Masalah Pokoknya ?
Sekilas Data
Hampir setiap hari mass media menampilkan berita kasus HIV/ AIDS dan narkoba. Harian Kompas saja selama bulan September 2004 telah memuat lebih dari 4 kali berita mengenai hal tersebut dalam berbagai kolom. Ini berarti setiap minggu 1 berita; belum harian lain. Menurut Al Bachri Husin, persoalan narkoba di Indonesia telah memasuki gelombang ketiga. Gelombang pertama, epidemik narkotika terjadi pada tahun70-an, ditandai dengan penggunaan dan penyalahgunaan ganja. Pada pertengahan tahun 1995 dengan masuknya heroin ke Indonesia terjadilah gelombang kedua epidemik narkotika di Indonesia. Gelombang ketiga dimulai awal tahun 2003 dengan masuknya kokain ke Indonesia. Pada tahun 2002 kokain yang berhasil disita di bandara Soekarno-Hatta sebesar 2.314 gram, pada tahun 2003 meningkat menjadi 28.556 gram (Kompas, 14/ 9/ 2004). Tahun 2004 sudah ada penyitaan 8 kilogram kokain di Bandara Soekarno-Hatta (Kompas, 3/9/2004).
Sejak tahun 1971 pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Penyalahgunaan dan peredaran Obat Gelap terlarang (Bakolak Inpres No 6/1971). Tetapi badan ini tidak sanggup membendung gelombang penyelundupan gelap ganja, heroin maupun kokain ke Indonesia. Indonesia menjadi surga bukan hanya bagi pecandu-pecandu narkotika dan psikotropika tetapi juga bagi bandarnya sebab memberikan keuntungan 100% (Popular, Mei/1997).
Sebenarnya ganja, heroin dan kokain digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan dan obat-obatan demi menunjang kesehatan manusia seutuhnya. Tetapi penyalahgunaan obat-obatan tersebut telah menyeret begitu banyak orang ke dalam jurang kehancuran. Berbagai alasan menjadi penyebab mereka mulai berkenalan dengan obat-obatan itu sampai kepada ketergantungan. Mulai dari sekedar mencoba-coba, diajak teman, bersenang-senang, relaksasi menghilangkan stres, sampai kemudian menjadi pengguna (karena dipengaruhi teman) dan akhirnya menjadi pecandu yang tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada narkoba. Bila seseorang menjadi pecandu ia mempunyai kecenderungan untuk berbohong, mencuri, menipu dan bahkan menjual diri demi mendapatkan narkoba. Hidupnya sangat tergantung pada narkoba.
Menurut Dadang Hawari, narkoba dapat menimbulkan ketagihan hingga ketergantungan karena zat ini memilki 4 sifat, yaitu keinginan yang tidak tertahankan terhadap zat yang dimaksud, kecenderungan untuk menambah takaran/dosis sesuai dengan toleransi tubuh hingga overdosis atau keracunan, ketergantungan secara psikis, dan ketergantungan secara fisik. Mereka yang menggunakan narkoba, misalnya putauw, dapat mengalami gangguan mental organik, dan penggunaan dosis yang berlebihan akan mengakibatkan rasa gembira yang berlebihan dan tidak wajar (euforia). Bisa juga malah sebaliknya, rasa sedih yang berlebihan (disforia). Mereka juga mengalami kelemahan, tidak bertenaga, apatis, suka mengantuk, bicara cedal dan sulit berkonsentrasi. Tingkah laku mereka cenderung aneh, baik dalam fungsi di sosial maupun dalam bekerja (Popular, Mei 1997).
Sementara penyalahgunaan narkoba yang menimbulkan berbagai persoalan lain seperti kecanduan, kekerasan dan perilaku seks bebas belum teratasi, telah muncul persoalan baru yakni HIV/ AIDS dan Hepatitis C. Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama merupakan cara penularan HIV/ AIDS yang cukup tinggi. Menurut Koordinator Program Kesehatan Warga dan Puskesmas Jatinegara, Jakarta Timur, Toga D. Sianturi, di antara 27.000 pengguna jarum suntik, prevalensi mereka yang terinfeksi HIV mencapai 25-50%. Sementara penjaja seks, dari 32.000 2 Lihat hal.22-23 dalam Ancaman HIV dan Kesehatan Masyarakat oleh Bdk, Reuben Granich-Jonathan Mermin diterbitkan oleh Insist Press Yogyakarta tahun 2003 orang, prevalensinya 0,5-5% dan di kalangan narapidana, dari 15.443 orang, prevalensinya 15-25% (Kompas, 3/9/2004).
Kasus-kasus HIV/ AIDS semakin meningkat. Bulan Desember 2003 ada 4.091 kasus dengan perincian 2720 kasus HIV dan 1.371 kasus AIDS. Selang selama 6 bulan kemudian terjadi peningkatan yang cukup mencolok yakni 4.389 kasus, terdiri dari 2.864 kasus HIV dan 1.525 kasus AIDS. Propinsi yang paling banyak ditemui kasus HIV/ AIDS antara lain DKI Jakarta dengan jumlah kasus 1.219, Papua dengan 1.036 kasus, Jawa Timur 495 kasus, Bali 352 kasus, Riau 291 kasus, dan Jawa Barat 248 kasus. Sementara itu kasus HIV/ AIDS jika dilihat dari kelompok umur, memperlihatkan gambaran yang mengkhawatirkan. Dari 4.389 kasus, 1.392 atau 31,7% adalah kelompok usia 15-29 tahun yang terdiri dari kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 176 kasus dan kelompok usia 20-29 tahun sebanyak 1.225 kasus (Kompas, 10/9/2004).
Sebenarnya kasus HIV/ AIDS pertama kali secara resmi ditemukan tahun 1981 di Amerika Serikat tetapi para ahli meyakini bahwa pada saat itu banyak manusia di seluruh dunia yang sudah terinfeksi HIV. Diperkirakan pada tahun 1980 ada sekitar 100.000 orang di seluruh dunia terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang tertular virus itu tidak menyadari bahwa mereka sedang tertular. Sekarang, lebih dari 30 juta orang, termasuk 1 juta anak, hidup dengan HIV.
Cara penularan HIV melalui tiga media: melalui kontak darah (pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan secara bergantian, transfusi darah dan kontak langsung dengan darah orang yang mengidap virus HIV), melalui cairan kelamin (air mani, cairan vagina dan hubungan seksual) dan melalui keturunan (dari ibu ke anak). Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas untuk mengobati dan menangkal infeksi. Sel darah putih ini termasuk limfosit yang disebut T-4 sel atau CD-4. Virus ini juga mempunyai kemampuan untuk menyamarkan genetiknya menjadi genetik sel yang ditumpanginya.
Refleksi
Berdasarkan data-data tersebut kita dapat menarik beberapa keprihatinan pokok yang berkaitan dengan saudara kita yang terkontaminasi oleh HIV/ AIDS dan narkoba. Pertama, kita perlu menempatkan mereka yang terkena HIV/ AIDS sebagai pribadi yang utuh dengan segala dimensinya, yang sungguh mengharapkan bantuan. Saudara kita yang terkena HIV/ AIDS sadar atau tidak mengalami proses dehumanisasi karena kesalahpahaman, stigmatisasi dan diskriminasi. Mereka sebenarnya adalah korban, entah karena kesalahan mereka sendiri atau bukan, tetapi pada saat ini yang mereka butuhkan bukan khotbah tetapi pertolongan untuk mengembalikan 3 Lihat hal.2 dalam Evangelum Vitae (Injil Kehidupan) seri Dokumen Gerejawi No. 41 oleh Paus Yohanes Paulus II, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1996.
4 Ibid hal. 6.
keluhurannya sebagai manusia. Bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi bersama-sama mencari cara-cara yang bijaksana untuk bertindak.
Kedua, sadar atau tidak mereka menjadi objek dari segala macam bentuk penyalahgunaan obat-obatan tanpa kebebasan mengatakan tidak. Seakan-akan ada suatu sistem dan struktur yang menempatkan manusia sebagai objek dan bukan subjek yang bertanggungawab atas hidup dan segala keputusan yang diambilnya. Sistem seperti itu mesti mendapatkan perhatian dalam penanganan masalah ini secara tuntas agar jangan semakin banyak generasi muda kita yang hilang.
Keluhuran Martabat Manusia
Landasan Ajaran Gereja
Pada saat ini disadari bahwa secara luar biasa ancaman-ancaman semakin bertambah dan semakin gawat bagi kehidupan manusia dan bangsa-bangsa, terutama bila kehidupan itu lemah dan tanpa perlindungan. Mereka yang terinfeksi HIV, penderita AIDS dan pecandu narkoba adalah orang-orang yang berada pada posisi paling lemah, tanpa perlindungan bahkan dikucilkan. Pada saat yang sama HIV/ AIDS dan narkoba adalah ancaman serius bagi kehidupan yang manusiawi. Pada posisi seperti itu semua pihak terpanggil untuk membela keluhuran martabat pribadi manusia sebab manusia adalah 'aktor' dalam membangun 'budaya kehidupan'.
Istilah 'budaya kehidupan' dimunculkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam berbagai kesempatan, berkaitan dengan ancaman yang begitu serius terhadap keluhuran martabat manusia. Dalam ensiklik (ajaran resmi gereja), Paus menegaskan :“Manusia dipanggil kepada kepatuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Keluhuran panggilan adi-kodrati ini mewahyukan keagungan dan nilai tak terhingga hidup manusiawi bahkan pada tahap yang sementara ini.”3
Oleh karena itu Paus mendesak untuk bersama-sama dapat menyajikan kepada dunia kita ini tanda-tanda baru pengharapan, dan berusaha menjamin, supaya keadilan dan solidaritas makin berkembang, dan supaya kebudayaan baru hidup manusiawi akan dimantapkan, demi pembanguan peradaban dan cinta kasih yang sejati.4 Ada semacam perang antara 'budaya kehidupan' dan 'budaya kematian'. Akar terdalam dari peperangan ini adalah surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia, ciri iklim sosial dan budaya yang didominasi oleh sekularisme. Mereka yang membiarkan diri dipengaruhi oleh iklim itu akan mudah terjebak dalam lingkaran setan yang menyedihkan : bila kesadaran akan Allah hilang, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia, martabat dan hidupnya. Sebaliknya pelanggaran sistematis hukum moral, khususnya dalam perkara 5 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 16, Dokumentasi dan Penerangan KWI , Obor Jakarta tahun 1993.
6 Lihat hal.95 pada Membangun Masyarakat Basis Yang Berhati Nurani oleh Yong Ohoitimur dalam Spektrum No.3 tahun XXX/ 2002.
serius sikap hormatnya terhadap hidup manusiawi serta martabatnya, menghasilkan semacam proses makin gelapnya kemampuan mengenai kehadiran Allah Penyelamat yang hidup.
Kalau kesadaran akan Allah disingkirkan maka segala sesuatu menjadi tak bermakna. Alam yang semula adalah 'mater' ( ibu, ibu pertiwi) sebagai sumber dan pemangku kehidupan, kini diturunkan menjadi 'materia', dan masih direduksi lagi dalam aneka manipulasi. Hubungan antar manusia sangat dimiskinkan karena sangat materialistis. Keberadaan manusia diukur berdasarkan 'apa yang mereka miliki, perbuat dan hasilkan'. Demikian juga peranan suara hati sebagai intisari keberadaan manusia menjadi tak bermakna. Padahal ‘di lubuk hati nuraninya' manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari diri sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari yang jahat.
Refleksi
Berdasarkan data-data tersebut kita dapat menarik beberapa keprihatinan pokok yang berkaitan dengan saudara kita yang terkontaminasi oleh HIV/ AIDS dan narkoba. Pertama, kita perlu menempatkan mereka yang terkena HIV/ AIDS sebagai pribadi yang utuh dengan segala dimensinya, yang sungguh mengharapkan bantuan. Saudara kita yang terkena HIV/ AIDS sadar atau tidak mengalami proses dehumanisasi karena kesalahpahaman, stigmatisasi dan diskriminasi. Mereka sebenarnya adalah korban, entah karena kesalahan mereka sendiri atau bukan, tetapi pada saat ini yang mereka butuhkan bukan khotbah tetapi pertolongan untuk mengembalikan 3 Lihat hal.2 dalam Evangelum Vitae (Injil Kehidupan) seri Dokumen Gerejawi No. 41 oleh Paus Yohanes Paulus II, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1996.
4 Ibid hal. 6.
keluhurannya sebagai manusia. Bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi bersama-sama mencari cara-cara yang bijaksana untuk bertindak.
Kedua, sadar atau tidak mereka menjadi objek dari segala macam bentuk penyalahgunaan obat-obatan tanpa kebebasan mengatakan tidak. Seakan-akan ada suatu sistem dan struktur yang menempatkan manusia sebagai objek dan bukan subjek yang bertanggungawab atas hidup dan segala keputusan yang diambilnya. Sistem seperti itu mesti mendapatkan perhatian dalam penanganan masalah ini secara tuntas agar jangan semakin banyak generasi muda kita yang hilang.
Keluhuran Martabat Manusia
Landasan Ajaran Gereja
Pada saat ini disadari bahwa secara luar biasa ancaman-ancaman semakin bertambah dan semakin gawat bagi kehidupan manusia dan bangsa-bangsa, terutama bila kehidupan itu lemah dan tanpa perlindungan. Mereka yang terinfeksi HIV, penderita AIDS dan pecandu narkoba adalah orang-orang yang berada pada posisi paling lemah, tanpa perlindungan bahkan dikucilkan. Pada saat yang sama HIV/ AIDS dan narkoba adalah ancaman serius bagi kehidupan yang manusiawi. Pada posisi seperti itu semua pihak terpanggil untuk membela keluhuran martabat pribadi manusia sebab manusia adalah 'aktor' dalam membangun 'budaya kehidupan'.
Istilah 'budaya kehidupan' dimunculkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam berbagai kesempatan, berkaitan dengan ancaman yang begitu serius terhadap keluhuran martabat manusia. Dalam ensiklik (ajaran resmi gereja), Paus menegaskan :“Manusia dipanggil kepada kepatuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Keluhuran panggilan adi-kodrati ini mewahyukan keagungan dan nilai tak terhingga hidup manusiawi bahkan pada tahap yang sementara ini.”3
Oleh karena itu Paus mendesak untuk bersama-sama dapat menyajikan kepada dunia kita ini tanda-tanda baru pengharapan, dan berusaha menjamin, supaya keadilan dan solidaritas makin berkembang, dan supaya kebudayaan baru hidup manusiawi akan dimantapkan, demi pembanguan peradaban dan cinta kasih yang sejati.4 Ada semacam perang antara 'budaya kehidupan' dan 'budaya kematian'. Akar terdalam dari peperangan ini adalah surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia, ciri iklim sosial dan budaya yang didominasi oleh sekularisme. Mereka yang membiarkan diri dipengaruhi oleh iklim itu akan mudah terjebak dalam lingkaran setan yang menyedihkan : bila kesadaran akan Allah hilang, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia, martabat dan hidupnya. Sebaliknya pelanggaran sistematis hukum moral, khususnya dalam perkara 5 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 16, Dokumentasi dan Penerangan KWI , Obor Jakarta tahun 1993.
6 Lihat hal.95 pada Membangun Masyarakat Basis Yang Berhati Nurani oleh Yong Ohoitimur dalam Spektrum No.3 tahun XXX/ 2002.
serius sikap hormatnya terhadap hidup manusiawi serta martabatnya, menghasilkan semacam proses makin gelapnya kemampuan mengenai kehadiran Allah Penyelamat yang hidup.
Kalau kesadaran akan Allah disingkirkan maka segala sesuatu menjadi tak bermakna. Alam yang semula adalah 'mater' ( ibu, ibu pertiwi) sebagai sumber dan pemangku kehidupan, kini diturunkan menjadi 'materia', dan masih direduksi lagi dalam aneka manipulasi. Hubungan antar manusia sangat dimiskinkan karena sangat materialistis. Keberadaan manusia diukur berdasarkan 'apa yang mereka miliki, perbuat dan hasilkan'. Demikian juga peranan suara hati sebagai intisari keberadaan manusia menjadi tak bermakna. Padahal ‘di lubuk hati nuraninya' manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari diri sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari yang jahat.
Keprihatinan Pastoral Ancaman serius dari HIV/ AIDS dan narkoba di satu pihak dan panggilan luhur untuk membela martabat manusia di pihak lain menimbulkan keprihatinan yang mendalam akan terciptanya tatanan kehidupan yang manusiawi (baca: 'budaya kehidupan'). Kita masing-masing wajib menyediakan diri untuk melayani hidup. Itu sesungguhnya suatu tanggungjawab semua orang yang meminta kegiatan terpadu dalam kebesaran jiwa oleh semua anggota dan segala pelaku. Akan tetapi komitmen umat itu tidak mengesampingkan atau mengurangi tanggung jawab masing-masing perorangan, yang oleh Tuhan dipanggil 'menjadi sesama' bagi setiap orang “Panggilan dan lakukanlah itu”.
Dalam konteks tersebut, kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba dapat mengungkapkan beberapa hal yang lebih mendasar. Pertama, nilai-nilai kebenaran agama tidak mewujud dan menjadi bagian dari identitas kehidupan. Artinya, agama-agama sedang mengalami krisis identitas yang mendalam. Ada kecenderungan penghayatan agama berhenti pada simbol-simbol keagamaan. Akibatnya, agama menjadi suatu kategori sosial-budaya (bahkan politik) yang kosong. Agama-agama tidak lagi hidup!
Kedua, “konsekuensi langsung dari krisis identitas tersebut ialah kekosongan hati nurani. Hati nurani tidak dipahami sebagai inti manusia yang paling dalam, tempat Allah menuliskan hukum-hukum-Nya, dan sumber dari cinta dan perbuatan-perbuatan baik”.6
Ketiga, tempat pendidikan hati nurani pertama-tama dan utama adalah keluarga. Di dalam keluargalah, setiap orang mengalami pola asuh dan pengalaman eksistensial sebagai manusia. Namun pada saat yang sama sendi-sendi kehidupan keluarga mengalami kekosongan dahsyat.
Dalam konteks tersebut, kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba dapat mengungkapkan beberapa hal yang lebih mendasar. Pertama, nilai-nilai kebenaran agama tidak mewujud dan menjadi bagian dari identitas kehidupan. Artinya, agama-agama sedang mengalami krisis identitas yang mendalam. Ada kecenderungan penghayatan agama berhenti pada simbol-simbol keagamaan. Akibatnya, agama menjadi suatu kategori sosial-budaya (bahkan politik) yang kosong. Agama-agama tidak lagi hidup!
Kedua, “konsekuensi langsung dari krisis identitas tersebut ialah kekosongan hati nurani. Hati nurani tidak dipahami sebagai inti manusia yang paling dalam, tempat Allah menuliskan hukum-hukum-Nya, dan sumber dari cinta dan perbuatan-perbuatan baik”.6
Ketiga, tempat pendidikan hati nurani pertama-tama dan utama adalah keluarga. Di dalam keluargalah, setiap orang mengalami pola asuh dan pengalaman eksistensial sebagai manusia. Namun pada saat yang sama sendi-sendi kehidupan keluarga mengalami kekosongan dahsyat.
Kesibukan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup serta membanjirnya arus globalisasi telah membuat keluarga kehilangan 'hak'nya untuk mendidik hati nurani setiap anggotanya.
Apa Yang Bisa Kita Buat?
Pemahaman Dasar
Perlu disadari bahwa setiap orang adalah bermartabat karena diciptakan dan dikehendaki untuk selamat oleh Allah. Karena itu bersama dengan siapapun juga manusia membangun kehidupan yang manusiawi demi bonum commune (kesejahteraan umum). Dengan munculnya kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba, keluhuran martabat manusia dan panggilan akan keselamatan dikaburkan. Manusia mendapat tantangan yang serius untuk membangun budaya kehidupan, bukan budaya kematian. Aktor utama dalam pembangunan budaya kehidupan adalah manusia yang berkepribadian sehat.
Dalam konteks itu, perlu kita pahami betul bahwa orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) dan mereka yang mengalami ketergantungan pada narkoba adalah manusia biasa, seperti kita. Perbedaannya: sistem kekebalan tubuh mereka telah terkontaminasi dengan virus penyebab AIDS dan kebebasan mereka telah dirampas oleh narkoba. Hak asasi mereka juga sama dengan kita tak berbeda sedikitpun! Oleh karena itu sikap diskriminatif adalah sikap yang berlawanan dengan dirinya sendiri; apalagi mengenakan stigmatisasi pada mereka dan mengkaitkannya dengan mitos kutukan. Orang-orang seperti ini kita pandang sebagai sesama yang amat membutuhkan pertolongan dan pendampingan intensif.
Selain itu kelompok orang yang berperilaku resiko tinggi seperti penjaja seks komersial, pelaku seks bebas, waria, homoseks, dll, pun harus dipandang secara arif. Mereka tetap manusia biasa yang memiliki hak dan kewajiban. Kepada mereka tidak bisa begitu saja dikenakan tudingan sebagai sumber penularan HIV atau dicap sebagai kelompok yang mesti disingkiri. Berhubungan dengan kelompok orang-orang seperti ini, kita berdiskusi masalah moral untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Arah Pastoral Pendampingan
Pastoral adalah segala usaha penuh cinta kasih kepada sesama terutama yang berada dalam kondisi tidak menguntungkan agar mampu berkembang sebagai manusia yang bermartabat di hadapan Allah. Oleh karena itu pastoral meliputi empat hal, yakni berkaitan dengan fisik (pembebasan dari ketergantungan fisik), mental (mengembalikan kepercayaan diri sebagai pribadi yang berharga), sosial (kemampuan membangun relasi yang manusiawi) dan spiritual (pengalaman akan Allah). 32
7 Lihat hal.94 dalam Piagam Panitia Kepausan untuk Reksa Pastoral Kesehatan, Piagam bagi Pelayanan Kesehatan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1994.
Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba mengubah kecenderungan manusia dari 'mater' sumber kehidupan menjadi 'materia'. Karena itu dibutuhkan solidaritas global untuk mengembalikan martabat manusia sebagai pembangun kebudayaan hidup. Mereka hidup dalam kondisi 'perbudakan yang berat' dan mereka harus dibebaskan dari padanya. Oleh karena itu penyembuhannya tidak dapat dicapai melalui cara yang diterapkan pada orang yang berbuat kesalahan etis atau melalui hukum yang represif, melainkan melalui proses rehabilitasi, tanpa membiarkan kesalahan yang mungkin dijalankan oleh mereka, proses yang mendukung pembebasan dari kondisi mereka serta reintegrasi mereka. Karena itu sangat penting usaha-usaha untuk mengenal orang-orang dan memahami dunia batin mereka, mengantar mereka kepada penemuan ulang martabat mereka sebagai pribadi, membantu mereka bangkit lagi dan mengembangkan sebagai subyek yang aktif, sumber-sumber daya pribadi, yang telah ditiadakan oleh HIV/ AIDS atau penggunaan narkoba, melalui reaktivasi mekanisme-mekanisme kehendak yang penuh kepercayaan, diarahkan kepda cita-cita yang aman dan luhur.
Pastoral adalah segala usaha penuh cinta kasih kepada sesama terutama yang berada dalam kondisi tidak menguntungkan agar mampu berkembang sebagai manusia yang bermartabat di hadapan Allah. Oleh karena itu pastoral meliputi empat hal, yakni berkaitan dengan fisik (pembebasan dari ketergantungan fisik), mental (mengembalikan kepercayaan diri sebagai pribadi yang berharga), sosial (kemampuan membangun relasi yang manusiawi) dan spiritual (pengalaman akan Allah). 32
7 Lihat hal.94 dalam Piagam Panitia Kepausan untuk Reksa Pastoral Kesehatan, Piagam bagi Pelayanan Kesehatan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1994.
Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba mengubah kecenderungan manusia dari 'mater' sumber kehidupan menjadi 'materia'. Karena itu dibutuhkan solidaritas global untuk mengembalikan martabat manusia sebagai pembangun kebudayaan hidup. Mereka hidup dalam kondisi 'perbudakan yang berat' dan mereka harus dibebaskan dari padanya. Oleh karena itu penyembuhannya tidak dapat dicapai melalui cara yang diterapkan pada orang yang berbuat kesalahan etis atau melalui hukum yang represif, melainkan melalui proses rehabilitasi, tanpa membiarkan kesalahan yang mungkin dijalankan oleh mereka, proses yang mendukung pembebasan dari kondisi mereka serta reintegrasi mereka. Karena itu sangat penting usaha-usaha untuk mengenal orang-orang dan memahami dunia batin mereka, mengantar mereka kepada penemuan ulang martabat mereka sebagai pribadi, membantu mereka bangkit lagi dan mengembangkan sebagai subyek yang aktif, sumber-sumber daya pribadi, yang telah ditiadakan oleh HIV/ AIDS atau penggunaan narkoba, melalui reaktivasi mekanisme-mekanisme kehendak yang penuh kepercayaan, diarahkan kepda cita-cita yang aman dan luhur.
Arah pastoral pendampingan secara umum berkaitan dengn kasus HIV/ AIDS dan narkoba ditujukan kepada dua hal. Pertama, terciptanya masyarakat basis multikultural yang berhati nurani. Disini multikultural dimengerti sebagai sikap hidup atau pandangan dasar dinamika kehidupan bersama yang bebas dari diskriminasi dan rintangan-rintangan yang bisa menghambat individu-individu dari berbagai latar belakang kultural untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri serta untuk berpartisipsi dan berkontribusi dalam masyarakat secara adil dan setara. Dalam masyarakat seperti itu identitas setiap agama tidak berhenti pada simbol melainkan pada sikap hidup, tindakan yang santun.
Kedua, mengembangkan cara berpikir dan hati nurani yang baru. Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, setiap orang beriman mesti terlibat lebih penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan itu terfokus pada transformasi sosial dan kultural yang efektif, yakni sebagai penabur dan pelaku budaya kehidupan. Pembentukan hati nurani bangsa yang sehat secara manusiawi menjadi tugas penting dan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari kondisi yang koruptif dan merusak.
Ketiga, percepatan untuk kedua hal di atas dicapai dengan pendidikan sebab pendidikan berarti membudayakan kasih. Pendidikan menjadi pintu gerbang perubahan untuk membina generasi muda yang bernurani dalam masyarakat plural.
Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan narkoba dan penderita AIDS. Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha untuk menggapai permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara serius. Bidang yang diusahakan untuk menangani kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan, pendampingan psikologis sosial dan spiritual. Selain itu, diupayakan pula membangun jaringan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk terlibat dalam berbagai penanganan konkret seperti advokasi dan pemahaman secara komprehensif.
Dalam bidang pencegahan melibatkan sekolah-sekolah, kelompok-kelompok kerja dari tingkat nasional maupun lokal (paroki, kevikepan dan keuskupan), rumah sakit dan lain-lain. Selain itu, keluarga sebagai pusat kehidupan, mendapat perhatian khusus karena di dalam keluargalah kekuatan untuk menangkal semua kasus itu mulai ditanamkan. Dari keluarga perlu sejak dini ditanamkan pendidikan seksualitas yang benar. Sebab seksualitas merupakan unsur tak terpisahkan dari keluarga. Pemisahan seksualitas dari kehidupan suami istri berarti menghancurkan keluhuran keluarga dan masuk dalam arus hedonisme.
Selain keluarga, paroki juga menjadi ajang bagi usaha-usaha pencegahan, diantaranya kerjasama antara komisi kesehatan dengan kaum muda menyelenggarakan diskusi, seminar, kursus dan ceramah mengenai narkoba dan HIV/ AIDS. Sebagai contoh semua pasangan calon penganten yang akan menikah di gereja wajib mengikuti kursus perkawinan. Dalam kesempatan seperti itu dipromosikan kesetiaan pada pasangan dan perilaku seks yang sehat serta bermoral.
Pelayanan perawatan kepada para pecandu narkoba ditempuh melalui sistem rujukan serta pelayanan kesehatan yang holistik. Artinya mereka tidak dipisahkan dari keluarga sebab isolasi justru bisa menimbulkan kesan diskriminasi serta memungkinkan munculnya bahaya pembentukan komunitas baru diantara pecandu. Misalnya Pusat Rehabilitasi di Yogyakarta, Bogor, Jakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Medan. Bidang pelayanan pendampingan untuk para pecandu dan orang dengan HIV/ AIDS dilakukan juga dengan pastoral counselling. Selain pendampingan kepada para penderita, juga dilakukan pendampingan terhadap para dokter, perawat dan konselor lain dalam mewujudkan 'care, support and treatment'. Bentuk pendampingan dilakukan pula dengan melibatkan para pecandu dalam berbagai kesempatan kegitan gereja supaya mereka pun mampu hidup sewajarnya dalam komunitas umat beriman.
Suatu Strategi?
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau komunitas-komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua' dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi.
“Seorang guru besar Sosiologi (John Hopkins) pernah menugaskan mahasiswanya untuk mengadakan penelitian pada kalangan remaja di suatu daerah kumuh di kota Baltimore. Mahasiswa itu harus menganalisa situasi remaja itu dan coba meramalkan masa depan mereka. Analisa situasi remaja dan ramalan tentang masa depan mereka itu harus dituangkan dalam karya tulis.
Karya tulis dari hampir semua mahasiswa memaparkan tentang situasi yang menyedihkan dari para remaja di daerah kumuh itu. Mereka meramalkan hampir pasti 90% dari remaja itu akan berurusan dengan polisi dan penjara di kemudian hari.
Dua puluh tahun kemudian seorang Sosiolog lain kebetulan membaca karya tulis para mahasiswa tentang para remaja di daerah kumuh di kota Baltimore itu. Ia ingin mengetahui apakah ramalan dalam karya tulis itu sudah menjadi kenyataan. Ia menugaskan mahasiswanya untuk membuat penelitian berhubungan dengan hal itu.
Para mahasiwa berhasil menemui 180 dari 200 orang mantan remaja daerah kumuh Baltimore tersebut. Hasil wawancara mereka dengan orang-orang itu sungguh mencengangkan. Hampir semua mantan remaja itu sukses dalam hidupnya, hanya 4 orang yang pernah berkenalan dengan penjara. Ramalan dari para mahasiswa 20 tahun lalu itu ternyata jauh meleset. Lalu para mahasiswa berusaha untuk mencari tahu mengapa keajaiban itu bisa terjadi.
Dalam wawancara dengan 180 orang yang sudah hidup sukses itu, mereka selalu menyebut-nyebut satu nama, yaitu nama seorang kepala sekolah menengah pada saat mereka belajar di sekolah itu. Kepala sekolah itu mempunyai andil besar untuk kesuksesan mereka. Namanya Ny. O'Rourke. Sekarang sudah pensiun dan tinggal di panti jompo!
Ketika para mahasiswa menemuinya dan menanyakan apa saja yang telah dibuatnya sehingga hampir semua anak didiknya sukses dalam hidup. Ny. Rourke mengatakan bahwa ia tidak bisa mengingatnya lagi. Dia hanya tersenyum dan mengatakan: “Rasanya saya masih mengingat mereka semua dan masih mencintai mereka seperti dulu sewaktu mereka masih remaja! Ah, betapa menyenangkan anak-anak itu”
Kedua, mengembangkan cara berpikir dan hati nurani yang baru. Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, setiap orang beriman mesti terlibat lebih penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan itu terfokus pada transformasi sosial dan kultural yang efektif, yakni sebagai penabur dan pelaku budaya kehidupan. Pembentukan hati nurani bangsa yang sehat secara manusiawi menjadi tugas penting dan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari kondisi yang koruptif dan merusak.
Ketiga, percepatan untuk kedua hal di atas dicapai dengan pendidikan sebab pendidikan berarti membudayakan kasih. Pendidikan menjadi pintu gerbang perubahan untuk membina generasi muda yang bernurani dalam masyarakat plural.
Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan narkoba dan penderita AIDS. Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha untuk menggapai permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara serius. Bidang yang diusahakan untuk menangani kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan, pendampingan psikologis sosial dan spiritual. Selain itu, diupayakan pula membangun jaringan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk terlibat dalam berbagai penanganan konkret seperti advokasi dan pemahaman secara komprehensif.
Dalam bidang pencegahan melibatkan sekolah-sekolah, kelompok-kelompok kerja dari tingkat nasional maupun lokal (paroki, kevikepan dan keuskupan), rumah sakit dan lain-lain. Selain itu, keluarga sebagai pusat kehidupan, mendapat perhatian khusus karena di dalam keluargalah kekuatan untuk menangkal semua kasus itu mulai ditanamkan. Dari keluarga perlu sejak dini ditanamkan pendidikan seksualitas yang benar. Sebab seksualitas merupakan unsur tak terpisahkan dari keluarga. Pemisahan seksualitas dari kehidupan suami istri berarti menghancurkan keluhuran keluarga dan masuk dalam arus hedonisme.
Selain keluarga, paroki juga menjadi ajang bagi usaha-usaha pencegahan, diantaranya kerjasama antara komisi kesehatan dengan kaum muda menyelenggarakan diskusi, seminar, kursus dan ceramah mengenai narkoba dan HIV/ AIDS. Sebagai contoh semua pasangan calon penganten yang akan menikah di gereja wajib mengikuti kursus perkawinan. Dalam kesempatan seperti itu dipromosikan kesetiaan pada pasangan dan perilaku seks yang sehat serta bermoral.
Pelayanan perawatan kepada para pecandu narkoba ditempuh melalui sistem rujukan serta pelayanan kesehatan yang holistik. Artinya mereka tidak dipisahkan dari keluarga sebab isolasi justru bisa menimbulkan kesan diskriminasi serta memungkinkan munculnya bahaya pembentukan komunitas baru diantara pecandu. Misalnya Pusat Rehabilitasi di Yogyakarta, Bogor, Jakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Medan. Bidang pelayanan pendampingan untuk para pecandu dan orang dengan HIV/ AIDS dilakukan juga dengan pastoral counselling. Selain pendampingan kepada para penderita, juga dilakukan pendampingan terhadap para dokter, perawat dan konselor lain dalam mewujudkan 'care, support and treatment'. Bentuk pendampingan dilakukan pula dengan melibatkan para pecandu dalam berbagai kesempatan kegitan gereja supaya mereka pun mampu hidup sewajarnya dalam komunitas umat beriman.
Suatu Strategi?
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau komunitas-komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua' dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi.
“Seorang guru besar Sosiologi (John Hopkins) pernah menugaskan mahasiswanya untuk mengadakan penelitian pada kalangan remaja di suatu daerah kumuh di kota Baltimore. Mahasiswa itu harus menganalisa situasi remaja itu dan coba meramalkan masa depan mereka. Analisa situasi remaja dan ramalan tentang masa depan mereka itu harus dituangkan dalam karya tulis.
Karya tulis dari hampir semua mahasiswa memaparkan tentang situasi yang menyedihkan dari para remaja di daerah kumuh itu. Mereka meramalkan hampir pasti 90% dari remaja itu akan berurusan dengan polisi dan penjara di kemudian hari.
Dua puluh tahun kemudian seorang Sosiolog lain kebetulan membaca karya tulis para mahasiswa tentang para remaja di daerah kumuh di kota Baltimore itu. Ia ingin mengetahui apakah ramalan dalam karya tulis itu sudah menjadi kenyataan. Ia menugaskan mahasiswanya untuk membuat penelitian berhubungan dengan hal itu.
Para mahasiwa berhasil menemui 180 dari 200 orang mantan remaja daerah kumuh Baltimore tersebut. Hasil wawancara mereka dengan orang-orang itu sungguh mencengangkan. Hampir semua mantan remaja itu sukses dalam hidupnya, hanya 4 orang yang pernah berkenalan dengan penjara. Ramalan dari para mahasiswa 20 tahun lalu itu ternyata jauh meleset. Lalu para mahasiswa berusaha untuk mencari tahu mengapa keajaiban itu bisa terjadi.
Dalam wawancara dengan 180 orang yang sudah hidup sukses itu, mereka selalu menyebut-nyebut satu nama, yaitu nama seorang kepala sekolah menengah pada saat mereka belajar di sekolah itu. Kepala sekolah itu mempunyai andil besar untuk kesuksesan mereka. Namanya Ny. O'Rourke. Sekarang sudah pensiun dan tinggal di panti jompo!
Ketika para mahasiswa menemuinya dan menanyakan apa saja yang telah dibuatnya sehingga hampir semua anak didiknya sukses dalam hidup. Ny. Rourke mengatakan bahwa ia tidak bisa mengingatnya lagi. Dia hanya tersenyum dan mengatakan: “Rasanya saya masih mengingat mereka semua dan masih mencintai mereka seperti dulu sewaktu mereka masih remaja! Ah, betapa menyenangkan anak-anak itu”
Penutup
Alkisah, ada seorang yang terperosok ke dalam lubang. Orang itu berteriak minta tolong. Kebetulan ada pejalan kaki lewat dekat lubang itu. Ia menolong tetapi tangannya tak mampu menggapai orang itu. Dengan menyesal dia pergi. Tak berapa lama lewat pula seorang dengan tongkat. Ia pun menolongnya dengan tongkat. Apa daya ketika hampir terangkat, tongkat itu patah. Lewat pula seorang rabi. Dia mendengar rintihan orang itu dan masuk ke lubang lalu menyuruh naik lewat pundaknya sambil berkata: “Pergilah dengan damai”.
PASTOR RIANA, TRIMAKASIH ATAS IDE-IDE BAGUSNYA TTG HIV_AIDS, AKU SEDANG MEMPERSIAPKAN BAHAH UTK SEMINAR SEPUTAR HIV AIDS DI KEUSKUPAN ATAMBUA. SEMOGA DAPAT MEMBANTU UMAT KITA DI MANA SAJA..
BalasHapusSALAM PASTOR SYPRI DI ATAMBUA
There are some natural remedies that can be used in the prevention and eliminate diabetes totally. However, the single most important aspect of a diabetes control plan is adopting a wholesome life style Inner Peace, Nutritious and Healthy Diet, and Regular Physical Exercise. A state of inner peace and self-contentment is essential to enjoying a good physical health and over all well-being. The inner peace and self contentment is a just a state of mind.People with diabetes diseases often use complementary and alternative medicine. I diagnosed diabetes in 2000. Was at work feeling unusually tired and sleepy. I borrowed a glucometer from a co-worker and tested at 760. Went immediately to my doctor and he gave me prescription like: Insulin ,Sulfonamides, but I could not get the cure rather to reduce the pain and brink back the pain again. I found a woman testimony name Comfort online how Dr Akhigbe cure her HIV and I also contacted the doctor and after I took his medication as instructed, I am now completely free from diabetes by doctor Akhigbe herbal medicine.So diabetes patients reading this testimony to contact his email drrealakhigbe@gmail.com or his Number +2348142454860 He also use his herbal herbs to diseases like:SPIDER BITE, SCHIZOPHRENIA, LUPUS,EXTERNAL INFECTION, COMMON COLD, JOINT PAIN, BODY PAIN, EPILEPSY,STROKE,TUBERCULOSIS ,STOMACH DISEASE. ECZEMA, PROGERIA, EATING DISORDER, LOWER RESPIRATORY INFECTION, DIABETICS,HERPES,HIV/AIDS, ;ALS, CANCER , MENINGITIS,HEPATITIS A AND B, THYROID, ASTHMA, HEART DISEASE, CHRONIC DISEASE. AUTISM, NAUSEA VOMITING OR DIARRHEA,KIDNEY DISEASE, WEAK ERECTION. EYE TWITCHING PAINFUL OR IRREGULAR MENSTRUATION.Dr Akhigbe is a good man and he heal any body that come to him. here is email drrealakhigbe@gmail.com and his Number +2349010754824
BalasHapus