OPINI
RESPON AGAMA ISLAM TERHADAP PROBLEM SOSIAL
PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DAN NARKOBA
PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DAN NARKOBA
Maria Ulfah Anshor
Ketua Pimpinan Fatayat NU Periode 2000-2004
Ketua Pimpinan Fatayat NU Periode 2000-2004
Latar Belakang dan Masalah
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome-sindrom cacat kekebaIan
tubuh dapatan) bukan merupakan penyakit (disease) tetapi cacat karena
sistem kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Syndrome Virus). Didalam tubuh manusia terdapat
sel-sel darah putih yang berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh
(Immune system) untuk menangkal berbagai penyakit. Setiap virus, kuman
dan bakteri yang masuk ke dalam aliran darah akan dilawan oleh sel-sel
darah putih yang ada di dalam tubuh kita sehingga mati dan tubuh kita
sembuh dari berbagai penyakit. Tetapi virus HIV tidak bisa dilumpuhkan
oleh sel-sel darah putih karena virus HIV memproduksi sel sendiri yang
dapat merusak sel darah putih dan merupakan sejenis retrovirus yaitu
virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia. Virus HIV terdapat
dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina dan dapat menular
melalui kontak darah atau cairan tersebut. Gejala AIDS baru bisa
diketahui 5-10 tahun seteIah tertular HIV, karena orang yang sudah
terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala spesifik apapun bahkan sesudah
masa AIDS.
Adapun cara penularan virus HIV terjadi melalui empat
macam: pertama, melalui hubungan seksual dengan seorang pengidap HIV
tanpa perlindungan/ kondom. Ini hisa terjadi karena saat berhubungan
seksual sering terjadi lecet-lecet yang ukurannya sangat kecil hanya
bisa dilihat dengan mikroskop pada dinding vagina, kulit penis, dubur
dan mulut yang dapat menyebabkan virus HIV masuk ke dalam aliran darah
pasangannya. Kedua, HIV dapat menular melalui tranfusi darah yang sudah
tercemar HIV. Ketiga, melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang
dikandungnya.
HIV/ AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 pada seorang turis Belanda yang meninggal di Bali. Setahun kemudian ditemukan pula warga negara Indonesia yang pertama, seorang laki-laki berusia 35 tahun meninggal pula karena AIDS di Bali. Setelah itu penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dan penyebarannya hampir di semua propinsi meskipun dengan prevalensi yang tergolong rendah. Data tahun 1997-1999 ditemukan sebanyak 933 kasus, terdiri dari HIV sebanyak 680 dan AIDS sebanyak 253 kasus.
Dari data tersebut 60,6 % diantaranya adalah laki-laki, 35,7 % perempuan dan 3,7 % tidak diketahui jenis kelaminnya.4 Pada tahun 2001 meningkat sebanyak 2.575 kasus, 671 di antaranya AIDS. Dan hingga 31 Maret 2003, sebanyak 3.614 kasus, terdiri dari 2.556 HIV positif dan 1.058 AIDS (dari berbagai sumber). Jumlah yang tercatat tersebut jauh lebih kecil jika dibanding dengan prevalensi yang sesungguhnya, karena ada fenomena gunung es, dimana penderita masih menyembunyikan bahwa dirinya terinfeksi.
Dalam perkembangan HIV/ AIDS sejak pertama ditemukan kecenderungannya menggambarkan bahwa di negara-negara miskin dan negara berkembang jumlahnya terus meningkat seperti di Afrika, Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara kecuali Thailand. Ini berbeda dengan di negara-negara maju yang grafiknya mulai mendatar. Penurunan kasus tersebut bukan karena faktor obat atau vaksin tetapi karena keberhasilan strategi penanggulangan yang efektif ditunjang oleh pendidikan dan kesadaran yang tinggi dalam menggunakan kondom sebagai salah satu cara pencegahan, sehingga mampu mengurangi penyebaran HIV. Sementara biaya perawatan bagi ODHA dari kelompok masyarakat tidak mampu menjadi tanggung jawab Negara. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Meskipun tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Negara, tetapi setidaknya ada kebijakan yang dapat memfasilitasi upaya peningkatan ekonomi bagi ODHA dan keluarganya agar dapat membeli obat untuk menjaga kondisi tubuhnya.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin), dengan seperangkat tata nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Salah satunya adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al Isra/ 16
I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan (dari Islam) yang meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan dalam Al-Qur'an surat 7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit menular seksual. Padahal bila dilihat dari cara penularannya HIV/ AIDS sesungguhnya bukan merupakan penyakit seksual, karena orang yang tidak melakukan hubungan seks dengan penderita HIV pun bisa tertular seperti penularan melalui transfusi darah, jarum suntik, pisau cukur, dan sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat tersebut harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/ AIDS hingga saat ini masih kontroversial karena dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya. Pandangan tersebut menurut saya tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom sama dengan membiarkan penularan HIV. Apalagi kalau hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibanding kalau menggunakan kondom.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.
Dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Kelompok masyarakat miskin termasuk yang rentan pula tertular HIV/AIDS, karena perilaku masyarakat baik dalam pelayanan kesehatan, di sekolah, di tempat kerja, di tempat-tempat umum masih mendiskriminasikan ODHA, apalagi yang berasal dari keluarga miskin. Orang yang miskin semakin dimiskinkan karena tertular HIV/ AIDS. Dan dari kelompok yang miskin tersebut yang paling miskin dan menderita adalah kaum perempuan, karena secara ekonomi umumnya mereka bergantung pada suami atau pasangan yang juga umumnya miskin.
Selain itu, menciptakan suasana yang kondusif dengan cara meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap upaya menanggulangi HIV/ AIDS dengan melibatkan semua institusi yang terkait baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, dunia usaha serta lembaga masyarakat dan LSM.
Perempuan dan HIV/ AIDS.
Meskipun data di atas menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih kecil dibanding jumlah laki-laki, namun tidak berarti perempuan lebih aman atau lebih kebal dibanding laki-laki. Justru sebaliknya perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap penularan HIV/ AIDS, karena secara sosiologis faktanya menunjukkan bahwa hingga saat ini ketimpangan gender masih mengakar di dalam masyarakat. Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada suaminya atau pasangannya dapat memfasilitasi penyebaran HIV. Perilaku yang masih me-nomor dua-kan pelayanan kesehatan bagi perempuan setelah anggota keluarganya yang lain, relasi seksual yang masih didominasi laki-laki, rendahnya bargaining perempuan dalam penggunaan kondom bagi pasangannya, pandangan bahwa penyakit-penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksi dianggap memalukan, penyakit kotor dan sebagainya, membuat perempuan rentan terhadap penularan HIV/ AIDS.
HIV/ AIDS, perempuan dan ketimpangan gender seharusnya tidak dilihat secara terpisah karena masing-masing memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Perempuan menjadi sangat rentan dengan penularan HIV karena adanya relasi yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan. Karena relasi yang tidak berimbang mengakibatkan posisi tawar perempuan rendah, dan akibat posisi tawar perempuan rendah maka perempuan semakin mudah tertular HIV. Oleh karena itu, strategi penanggulangan HIV/ AIDS harus sensitif gender, supaya menyentuh akar persoalan yang menyebabkan perempuan berisiko tertular HIV/ AIDS.
Dalam bab tiga halaman 10 (sepuluh) Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003-2007 memang disebutkan salah satu kegiatannya untuk menurunkan kerentanan yaitu "melalui peningkatan pendidikan, ekonomi dan penyetaraan gender".5 Namun pernyataan tersebut masih sangat umum karena tidak ada penjelasan kegiatannya seperti apa. Perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/ AIDS tidak bisa ditanggulangi hanya dengan pendekatan umum tetapi membutuhkan pendekatan yang spesifik dengan strategi khusus yang mampu membongkar akar penyebabnya.
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS harus melibatkan perempuan dengan strategi pencegahan dan penanggulangan secara holistik, yakni pencegahan HIV tidak hanya dari sisi medis, tetapi dari berbagai dimensi yang secara langsung maupun tidak dapat menjadi faktor penentu terhadap penularan HIV/ AIDS. Termasuk di dalamnya dampak kebijakan-kebijakan pembangunan nasional yang mengakibatkan akses perempuan secara ekonomi dibatasi, terbatasnya peluang kerja bagi perempuan, menyebabkan perempuan migrasi ke kota bahkan ke luar negeri karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan sebagainya.
Dalam bentuk mikro misalnya melakukan analisis terhadap pola hubungan gender yang timpang, relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan, mengapa pendidikan perempuan rendah, perempuan menjadi miskin, perempuan menjadi korban kekerasan, perempuan menjadi objek eksploitasi seksual dan sebagainya. Kondisi tersebut merupakan akar permasalahan yang mengakibatkan perempuan rentan terhadap nenyebaran HIV. Dari situ diharapkan penyebaran HIV/ AIDS yang terjadi karena faktor ketimpangan gender, kemiskinan struktural pada perempuan dan sebagainya dapat teratasi.
Kesimpulan dan Penutup
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS harus dilakukan secara bersama-sama dan bersinergi oleh seluruh komponen masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai moral atau nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari ajaran agama. Mudah-mudahan dengan kebersamaan di antara kita harapan untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan terjadinya penularan HIV/ AIDS berjalan dengan lebih baik.
Daftar Bacaan
Harahap, Syaiful W., Pers Meliput AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003-2007.
Maria Ulfah Anshor, HIV/AIDS Prevention Through The Religious Approach in Nahdlatul Ulama, Kualalumpur: 5th International Congress on HIV/ AIDS in Asia Pasific, Oct 23-27, 1999.
Mukhotib MD, Mengurai Sikap Pesantren Terhadap Isu HIV, Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat NU, 2002
Siyaranamual, R. Siyaranamual, Etika dan Hak Pewabahan HIV/ AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Syahlan dkk, AIDS dan Penanggulangannya: Bahan Bacaan untuk Peserta Didik Keperawatan, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997. 19
UN AIDS, Summary Booklet of Best Practices, Geneva: Joint United Nation Programme on HIV/ AIDS (UNAIDS), 1999.
Zubairy Djoerban, HIV/ AIDS dan Hak Asasi Manusia, membidik AIDS, Yogyakarta: Galang Press, 2000. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar