4shared.com - Free file sharing and storage

Rabu, 04 April 2012

HIV/ AIDS DAN NARKOBA DALAM PERSPEKTIF KATOLIK

OPINI
HIV/ AIDS DAN NARKOBA
DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
P Riana Prapdi (Pastor)

Pengantar
Kasus-kasus HIV/ AIDS (Human Immuno deficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome) dan narkoba telah menjadi epidemik di tengah masyarakat saat ini. Hal ini bukan saja menimbulkan kekhawatiran mendalam tetapi juga berkaitan dengan ketidakpedulian masyarakat tentang HIV/ AIDS dan narkoba karena ketidaktahuan. Tidak sedikit pula orang masih mengkaitkan masalah ini dengan mitos-mitos tertentu. Tetapi yang lebih parah adalah kasus ini telah melibatkan generasi muda kita dan sikap diskriminatif terhadap para pengguna narkoba dan orang dengan HIV/ AIDS (ODHA).
Kondisi seperti ini tidak bisa didiamkan terus-menerus. Adalah tantangan bagi kita semua untuk mengambil sikap secara bijaksana dan konkret mengimplementasikannya dalam gerakan saling bahu-mambahu. Persoalannya bukan sekedar membongkar pemahaman yang keliru mengenai HIV/ AIDS dan narkoba tetapi menyangkut pola dan gaya hidup yang telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Kita perlu mengkaji pola dan gaya hidup tersebut agar generasi muda tidak menjadi 'generasi yang hilang'.
Dalam paparan singkat ini, saya akan coba sajikan kepedulian agama-agama terhadap HIV/ AIDS dan narkoba dari sudut pandang Katolik. Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba tidak berdiri sendiri tetapi mesti ditempatkan dalam kerangka usaha terus-menerus membangun 'budaya kehidupan'. Akan kita lihat identifikasi pokok permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba, pandangan mengenai keluhuran martabat manusia dan apa yang bisa kita buat.
HIV/ AIDS dan Narkoba : Apa Masalah Pokoknya ?

Sekilas Data
Hampir setiap hari mass media menampilkan berita kasus HIV/ AIDS dan narkoba. Harian Kompas saja selama bulan September 2004 telah memuat lebih dari 4 kali berita mengenai hal tersebut dalam berbagai kolom. Ini berarti setiap minggu 1 berita; belum harian lain. Menurut Al Bachri Husin, persoalan narkoba di Indonesia telah memasuki gelombang ketiga. Gelombang pertama, epidemik narkotika terjadi pada tahun70-an, ditandai dengan penggunaan dan penyalahgunaan ganja. Pada pertengahan tahun 1995 dengan masuknya heroin ke Indonesia terjadilah gelombang kedua epidemik narkotika di Indonesia. Gelombang ketiga dimulai awal tahun 2003 dengan masuknya kokain ke Indonesia. Pada tahun 2002 kokain yang berhasil disita di bandara Soekarno-Hatta sebesar 2.314 gram, pada tahun 2003 meningkat menjadi 28.556 gram (Kompas, 14/ 9/ 2004). Tahun 2004 sudah ada penyitaan 8 kilogram kokain di Bandara Soekarno-Hatta (Kompas, 3/9/2004).
Sejak tahun 1971 pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Penyalahgunaan dan peredaran Obat Gelap terlarang (Bakolak Inpres No 6/1971). Tetapi badan ini tidak sanggup membendung gelombang penyelundupan gelap ganja, heroin maupun kokain ke Indonesia. Indonesia menjadi surga bukan hanya bagi pecandu-pecandu narkotika dan psikotropika tetapi juga bagi bandarnya sebab memberikan keuntungan 100% (Popular, Mei/1997).
Sebenarnya ganja, heroin dan kokain digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan dan obat-obatan demi menunjang kesehatan manusia seutuhnya. Tetapi penyalahgunaan obat-obatan tersebut telah menyeret begitu banyak orang ke dalam jurang kehancuran. Berbagai alasan menjadi penyebab mereka mulai berkenalan dengan obat-obatan itu sampai kepada ketergantungan. Mulai dari sekedar mencoba-coba, diajak teman, bersenang-senang, relaksasi menghilangkan stres, sampai kemudian menjadi pengguna (karena dipengaruhi teman) dan akhirnya menjadi pecandu yang tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada narkoba. Bila seseorang menjadi pecandu ia mempunyai kecenderungan untuk berbohong, mencuri, menipu dan bahkan menjual diri demi mendapatkan narkoba. Hidupnya sangat tergantung pada narkoba.
Menurut Dadang Hawari, narkoba dapat menimbulkan ketagihan hingga ketergantungan karena zat ini memilki 4 sifat, yaitu keinginan yang tidak tertahankan terhadap zat yang dimaksud, kecenderungan untuk menambah takaran/dosis sesuai dengan toleransi tubuh hingga overdosis atau keracunan, ketergantungan secara psikis, dan ketergantungan secara fisik. Mereka yang menggunakan narkoba, misalnya putauw, dapat mengalami gangguan mental organik, dan penggunaan dosis yang berlebihan akan mengakibatkan rasa gembira yang berlebihan dan tidak wajar (euforia). Bisa juga malah sebaliknya, rasa sedih yang berlebihan (disforia). Mereka juga mengalami kelemahan, tidak bertenaga, apatis, suka mengantuk, bicara cedal dan sulit berkonsentrasi. Tingkah laku mereka cenderung aneh, baik dalam fungsi di sosial maupun dalam bekerja (Popular, Mei 1997).
Sementara penyalahgunaan narkoba yang menimbulkan berbagai persoalan lain seperti kecanduan, kekerasan dan perilaku seks bebas belum teratasi, telah muncul persoalan baru yakni HIV/ AIDS dan Hepatitis C. Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama merupakan cara penularan HIV/ AIDS yang cukup tinggi. Menurut Koordinator Program Kesehatan Warga dan Puskesmas Jatinegara, Jakarta Timur, Toga D. Sianturi, di antara 27.000 pengguna jarum suntik, prevalensi mereka yang terinfeksi HIV mencapai 25-50%. Sementara penjaja seks, dari 32.000 2 Lihat hal.22-23 dalam Ancaman HIV dan Kesehatan Masyarakat oleh Bdk, Reuben Granich-Jonathan Mermin diterbitkan oleh Insist Press Yogyakarta tahun 2003 orang, prevalensinya 0,5-5% dan di kalangan narapidana, dari 15.443 orang, prevalensinya 15-25% (Kompas, 3/9/2004).
Kasus-kasus HIV/ AIDS semakin meningkat. Bulan Desember 2003 ada 4.091 kasus dengan perincian 2720 kasus HIV dan 1.371 kasus AIDS. Selang selama 6 bulan kemudian terjadi peningkatan yang cukup mencolok yakni 4.389 kasus, terdiri dari 2.864 kasus HIV dan 1.525 kasus AIDS. Propinsi yang paling banyak ditemui kasus HIV/ AIDS antara lain DKI Jakarta dengan jumlah kasus 1.219, Papua dengan 1.036 kasus, Jawa Timur 495 kasus, Bali 352 kasus, Riau 291 kasus, dan Jawa Barat 248 kasus. Sementara itu kasus HIV/ AIDS jika dilihat dari kelompok umur, memperlihatkan gambaran yang mengkhawatirkan. Dari 4.389 kasus, 1.392 atau 31,7% adalah kelompok usia 15-29 tahun yang terdiri dari kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 176 kasus dan kelompok usia 20-29 tahun sebanyak 1.225 kasus (Kompas, 10/9/2004).
Sebenarnya kasus HIV/ AIDS pertama kali secara resmi ditemukan tahun 1981 di Amerika Serikat tetapi para ahli meyakini bahwa pada saat itu banyak manusia di seluruh dunia yang sudah terinfeksi HIV. Diperkirakan pada tahun 1980 ada sekitar 100.000 orang di seluruh dunia terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang tertular virus itu tidak menyadari bahwa mereka sedang tertular. Sekarang, lebih dari 30 juta orang, termasuk 1 juta anak, hidup dengan HIV.
Cara penularan HIV melalui tiga media: melalui kontak darah (pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan secara bergantian, transfusi darah dan kontak langsung dengan darah orang yang mengidap virus HIV), melalui cairan kelamin (air mani, cairan vagina dan hubungan seksual) dan melalui keturunan (dari ibu ke anak). Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas untuk mengobati dan menangkal infeksi. Sel darah putih ini termasuk limfosit yang disebut T-4 sel atau CD-4. Virus ini juga mempunyai kemampuan untuk menyamarkan genetiknya menjadi genetik sel yang ditumpanginya.
Refleksi
Berdasarkan data-data tersebut kita dapat menarik beberapa keprihatinan pokok yang berkaitan dengan saudara kita yang terkontaminasi oleh HIV/ AIDS dan narkoba. Pertama, kita perlu menempatkan mereka yang terkena HIV/ AIDS sebagai pribadi yang utuh dengan segala dimensinya, yang sungguh mengharapkan bantuan. Saudara kita yang terkena HIV/ AIDS sadar atau tidak mengalami proses dehumanisasi karena kesalahpahaman, stigmatisasi dan diskriminasi. Mereka sebenarnya adalah korban, entah karena kesalahan mereka sendiri atau bukan, tetapi pada saat ini yang mereka butuhkan bukan khotbah tetapi pertolongan untuk mengembalikan 3 Lihat hal.2 dalam Evangelum Vitae (Injil Kehidupan) seri Dokumen Gerejawi No. 41 oleh Paus Yohanes Paulus II, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1996.
4 Ibid hal. 6.
keluhurannya sebagai manusia. Bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi bersama-sama mencari cara-cara yang bijaksana untuk bertindak.
Kedua, sadar atau tidak mereka menjadi objek dari segala macam bentuk penyalahgunaan obat-obatan tanpa kebebasan mengatakan tidak. Seakan-akan ada suatu sistem dan struktur yang menempatkan manusia sebagai objek dan bukan subjek yang bertanggungawab atas hidup dan segala keputusan yang diambilnya. Sistem seperti itu mesti mendapatkan perhatian dalam penanganan masalah ini secara tuntas agar jangan semakin banyak generasi muda kita yang hilang.
Keluhuran Martabat Manusia
Landasan Ajaran Gereja
Pada saat ini disadari bahwa secara luar biasa ancaman-ancaman semakin bertambah dan semakin gawat bagi kehidupan manusia dan bangsa-bangsa, terutama bila kehidupan itu lemah dan tanpa perlindungan. Mereka yang terinfeksi HIV, penderita AIDS dan pecandu narkoba adalah orang-orang yang berada pada posisi paling lemah, tanpa perlindungan bahkan dikucilkan. Pada saat yang sama HIV/ AIDS dan narkoba adalah ancaman serius bagi kehidupan yang manusiawi. Pada posisi seperti itu semua pihak terpanggil untuk membela keluhuran martabat pribadi manusia sebab manusia adalah 'aktor' dalam membangun 'budaya kehidupan'.
Istilah 'budaya kehidupan' dimunculkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam berbagai kesempatan, berkaitan dengan ancaman yang begitu serius terhadap keluhuran martabat manusia. Dalam ensiklik (ajaran resmi gereja), Paus menegaskan :“Manusia dipanggil kepada kepatuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Keluhuran panggilan adi-kodrati ini mewahyukan keagungan dan nilai tak terhingga hidup manusiawi bahkan pada tahap yang sementara ini.”3
Oleh karena itu Paus mendesak untuk bersama-sama dapat menyajikan kepada dunia kita ini tanda-tanda baru pengharapan, dan berusaha menjamin, supaya keadilan dan solidaritas makin berkembang, dan supaya kebudayaan baru hidup manusiawi akan dimantapkan, demi pembanguan peradaban dan cinta kasih yang sejati.4 Ada semacam perang antara 'budaya kehidupan' dan 'budaya kematian'. Akar terdalam dari peperangan ini adalah surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia, ciri iklim sosial dan budaya yang didominasi oleh sekularisme. Mereka yang membiarkan diri dipengaruhi oleh iklim itu akan mudah terjebak dalam lingkaran setan yang menyedihkan : bila kesadaran akan Allah hilang, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia, martabat dan hidupnya. Sebaliknya pelanggaran sistematis hukum moral, khususnya dalam perkara 5 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 16, Dokumentasi dan Penerangan KWI , Obor Jakarta tahun 1993.
6 Lihat hal.95 pada Membangun Masyarakat Basis Yang Berhati Nurani oleh Yong Ohoitimur dalam Spektrum No.3 tahun XXX/ 2002.
serius sikap hormatnya terhadap hidup manusiawi serta martabatnya, menghasilkan semacam proses makin gelapnya kemampuan mengenai kehadiran Allah Penyelamat yang hidup.
Kalau kesadaran akan Allah disingkirkan maka segala sesuatu menjadi tak bermakna. Alam yang semula adalah 'mater' ( ibu, ibu pertiwi) sebagai sumber dan pemangku kehidupan, kini diturunkan menjadi 'materia', dan masih direduksi lagi dalam aneka manipulasi. Hubungan antar manusia sangat dimiskinkan karena sangat materialistis. Keberadaan manusia diukur berdasarkan 'apa yang mereka miliki, perbuat dan hasilkan'. Demikian juga peranan suara hati sebagai intisari keberadaan manusia menjadi tak bermakna. Padahal ‘di lubuk hati nuraninya' manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari diri sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari yang jahat.

Keprihatinan Pastoral Ancaman serius dari HIV/ AIDS dan narkoba di satu pihak dan panggilan luhur untuk membela martabat manusia di pihak lain menimbulkan keprihatinan yang mendalam akan terciptanya tatanan kehidupan yang manusiawi (baca: 'budaya kehidupan'). Kita masing-masing wajib menyediakan diri untuk melayani hidup. Itu sesungguhnya suatu tanggungjawab semua orang yang meminta kegiatan terpadu dalam kebesaran jiwa oleh semua anggota dan segala pelaku. Akan tetapi komitmen umat itu tidak mengesampingkan atau mengurangi tanggung jawab masing-masing perorangan, yang oleh Tuhan dipanggil 'menjadi sesama' bagi setiap orang “Panggilan dan lakukanlah itu”.
Dalam konteks tersebut, kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba dapat mengungkapkan beberapa hal yang lebih mendasar. Pertama, nilai-nilai kebenaran agama tidak mewujud dan menjadi bagian dari identitas kehidupan. Artinya, agama-agama sedang mengalami krisis identitas yang mendalam. Ada kecenderungan penghayatan agama berhenti pada simbol-simbol keagamaan. Akibatnya, agama menjadi suatu kategori sosial-budaya (bahkan politik) yang kosong. Agama-agama tidak lagi hidup!
Kedua, “konsekuensi langsung dari krisis identitas tersebut ialah kekosongan hati nurani. Hati nurani tidak dipahami sebagai inti manusia yang paling dalam, tempat Allah menuliskan hukum-hukum-Nya, dan sumber dari cinta dan perbuatan-perbuatan baik”.6
Ketiga, tempat pendidikan hati nurani pertama-tama dan utama adalah keluarga. Di dalam keluargalah, setiap orang mengalami pola asuh dan pengalaman eksistensial sebagai manusia. Namun pada saat yang sama sendi-sendi kehidupan keluarga mengalami kekosongan dahsyat.
Kesibukan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup serta membanjirnya arus globalisasi telah membuat keluarga kehilangan 'hak'nya untuk mendidik hati nurani setiap anggotanya.

Apa Yang Bisa Kita Buat?
Pemahaman Dasar

Perlu disadari bahwa setiap orang adalah bermartabat karena diciptakan dan dikehendaki untuk selamat oleh Allah. Karena itu bersama dengan siapapun juga manusia membangun kehidupan yang manusiawi demi bonum commune (kesejahteraan umum). Dengan munculnya kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba, keluhuran martabat manusia dan panggilan akan keselamatan dikaburkan. Manusia mendapat tantangan yang serius untuk membangun budaya kehidupan, bukan budaya kematian. Aktor utama dalam pembangunan budaya kehidupan adalah manusia yang berkepribadian sehat.
Dalam konteks itu, perlu kita pahami betul bahwa orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) dan mereka yang mengalami ketergantungan pada narkoba adalah manusia biasa, seperti kita. Perbedaannya: sistem kekebalan tubuh mereka telah terkontaminasi dengan virus penyebab AIDS dan kebebasan mereka telah dirampas oleh narkoba. Hak asasi mereka juga sama dengan kita tak berbeda sedikitpun! Oleh karena itu sikap diskriminatif adalah sikap yang berlawanan dengan dirinya sendiri; apalagi mengenakan stigmatisasi pada mereka dan mengkaitkannya dengan mitos kutukan. Orang-orang seperti ini kita pandang sebagai sesama yang amat membutuhkan pertolongan dan pendampingan intensif.
Selain itu kelompok orang yang berperilaku resiko tinggi seperti penjaja seks komersial, pelaku seks bebas, waria, homoseks, dll, pun harus dipandang secara arif. Mereka tetap manusia biasa yang memiliki hak dan kewajiban. Kepada mereka tidak bisa begitu saja dikenakan tudingan sebagai sumber penularan HIV atau dicap sebagai kelompok yang mesti disingkiri. Berhubungan dengan kelompok orang-orang seperti ini, kita berdiskusi masalah moral untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Arah Pastoral Pendampingan
Pastoral adalah segala usaha penuh cinta kasih kepada sesama terutama yang berada dalam kondisi tidak menguntungkan agar mampu berkembang sebagai manusia yang bermartabat di hadapan Allah. Oleh karena itu pastoral meliputi empat hal, yakni berkaitan dengan fisik (pembebasan dari ketergantungan fisik), mental (mengembalikan kepercayaan diri sebagai pribadi yang berharga), sosial (kemampuan membangun relasi yang manusiawi) dan spiritual (pengalaman akan Allah). 32
7 Lihat hal.94 dalam Piagam Panitia Kepausan untuk Reksa Pastoral Kesehatan, Piagam bagi Pelayanan Kesehatan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1994.
Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba mengubah kecenderungan manusia dari 'mater' sumber kehidupan menjadi 'materia'. Karena itu dibutuhkan solidaritas global untuk mengembalikan martabat manusia sebagai pembangun kebudayaan hidup. Mereka hidup dalam kondisi 'perbudakan yang berat' dan mereka harus dibebaskan dari padanya. Oleh karena itu penyembuhannya tidak dapat dicapai melalui cara yang diterapkan pada orang yang berbuat kesalahan etis atau melalui hukum yang represif, melainkan melalui proses rehabilitasi, tanpa membiarkan kesalahan yang mungkin dijalankan oleh mereka, proses yang mendukung pembebasan dari kondisi mereka serta reintegrasi mereka. Karena itu sangat penting usaha-usaha untuk mengenal orang-orang dan memahami dunia batin mereka, mengantar mereka kepada penemuan ulang martabat mereka sebagai pribadi, membantu mereka bangkit lagi dan mengembangkan sebagai subyek yang aktif, sumber-sumber daya pribadi, yang telah ditiadakan oleh HIV/ AIDS atau penggunaan narkoba, melalui reaktivasi mekanisme-mekanisme kehendak yang penuh kepercayaan, diarahkan kepda cita-cita yang aman dan luhur.
Arah pastoral pendampingan secara umum berkaitan dengn kasus HIV/ AIDS dan narkoba ditujukan kepada dua hal. Pertama, terciptanya masyarakat basis multikultural yang berhati nurani. Disini multikultural dimengerti sebagai sikap hidup atau pandangan dasar dinamika kehidupan bersama yang bebas dari diskriminasi dan rintangan-rintangan yang bisa menghambat individu-individu dari berbagai latar belakang kultural untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri serta untuk berpartisipsi dan berkontribusi dalam masyarakat secara adil dan setara. Dalam masyarakat seperti itu identitas setiap agama tidak berhenti pada simbol melainkan pada sikap hidup, tindakan yang santun.
Kedua, mengembangkan cara berpikir dan hati nurani yang baru. Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, setiap orang beriman mesti terlibat lebih penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan itu terfokus pada transformasi sosial dan kultural yang efektif, yakni sebagai penabur dan pelaku budaya kehidupan. Pembentukan hati nurani bangsa yang sehat secara manusiawi menjadi tugas penting dan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari kondisi yang koruptif dan merusak.
Ketiga, percepatan untuk kedua hal di atas dicapai dengan pendidikan sebab pendidikan berarti membudayakan kasih. Pendidikan menjadi pintu gerbang perubahan untuk membina generasi muda yang bernurani dalam masyarakat plural.
Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan narkoba dan penderita AIDS. Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha untuk menggapai permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara serius. Bidang yang diusahakan untuk menangani kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan, pendampingan psikologis sosial dan spiritual. Selain itu, diupayakan pula membangun jaringan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk terlibat dalam berbagai penanganan konkret seperti advokasi dan pemahaman secara komprehensif.
Dalam bidang pencegahan melibatkan sekolah-sekolah, kelompok-kelompok kerja dari tingkat nasional maupun lokal (paroki, kevikepan dan keuskupan), rumah sakit dan lain-lain. Selain itu, keluarga sebagai pusat kehidupan, mendapat perhatian khusus karena di dalam keluargalah kekuatan untuk menangkal semua kasus itu mulai ditanamkan. Dari keluarga perlu sejak dini ditanamkan pendidikan seksualitas yang benar. Sebab seksualitas merupakan unsur tak terpisahkan dari keluarga. Pemisahan seksualitas dari kehidupan suami istri berarti menghancurkan keluhuran keluarga dan masuk dalam arus hedonisme.
Selain keluarga, paroki juga menjadi ajang bagi usaha-usaha pencegahan, diantaranya kerjasama antara komisi kesehatan dengan kaum muda menyelenggarakan diskusi, seminar, kursus dan ceramah mengenai narkoba dan HIV/ AIDS. Sebagai contoh semua pasangan calon penganten yang akan menikah di gereja wajib mengikuti kursus perkawinan. Dalam kesempatan seperti itu dipromosikan kesetiaan pada pasangan dan perilaku seks yang sehat serta bermoral.
Pelayanan perawatan kepada para pecandu narkoba ditempuh melalui sistem rujukan serta pelayanan kesehatan yang holistik. Artinya mereka tidak dipisahkan dari keluarga sebab isolasi justru bisa menimbulkan kesan diskriminasi serta memungkinkan munculnya bahaya pembentukan komunitas baru diantara pecandu. Misalnya Pusat Rehabilitasi di Yogyakarta, Bogor, Jakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Medan. Bidang pelayanan pendampingan untuk para pecandu dan orang dengan HIV/ AIDS dilakukan juga dengan pastoral counselling. Selain pendampingan kepada para penderita, juga dilakukan pendampingan terhadap para dokter, perawat dan konselor lain dalam mewujudkan 'care, support and treatment'. Bentuk pendampingan dilakukan pula dengan melibatkan para pecandu dalam berbagai kesempatan kegitan gereja supaya mereka pun mampu hidup sewajarnya dalam komunitas umat beriman.
Suatu Strategi?
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau komunitas-komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua' dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi.
“Seorang guru besar Sosiologi (John Hopkins) pernah menugaskan mahasiswanya untuk mengadakan penelitian pada kalangan remaja di suatu daerah kumuh di kota Baltimore. Mahasiswa itu harus menganalisa situasi remaja itu dan coba meramalkan masa depan mereka. Analisa situasi remaja dan ramalan tentang masa depan mereka itu harus dituangkan dalam karya tulis.
Karya tulis dari hampir semua mahasiswa memaparkan tentang situasi yang menyedihkan dari para remaja di daerah kumuh itu. Mereka meramalkan hampir pasti 90% dari remaja itu akan berurusan dengan polisi dan penjara di kemudian hari.
Dua puluh tahun kemudian seorang Sosiolog lain kebetulan membaca karya tulis para mahasiswa tentang para remaja di daerah kumuh di kota Baltimore itu. Ia ingin mengetahui apakah ramalan dalam karya tulis itu sudah menjadi kenyataan. Ia menugaskan mahasiswanya untuk membuat penelitian berhubungan dengan hal itu.
Para mahasiwa berhasil menemui 180 dari 200 orang mantan remaja daerah kumuh Baltimore tersebut. Hasil wawancara mereka dengan orang-orang itu sungguh mencengangkan. Hampir semua mantan remaja itu sukses dalam hidupnya, hanya 4 orang yang pernah berkenalan dengan penjara. Ramalan dari para mahasiswa 20 tahun lalu itu ternyata jauh meleset. Lalu para mahasiswa berusaha untuk mencari tahu mengapa keajaiban itu bisa terjadi.
Dalam wawancara dengan 180 orang yang sudah hidup sukses itu, mereka selalu menyebut-nyebut satu nama, yaitu nama seorang kepala sekolah menengah pada saat mereka belajar di sekolah itu. Kepala sekolah itu mempunyai andil besar untuk kesuksesan mereka. Namanya Ny. O'Rourke. Sekarang sudah pensiun dan tinggal di panti jompo!
Ketika para mahasiswa menemuinya dan menanyakan apa saja yang telah dibuatnya sehingga hampir semua anak didiknya sukses dalam hidup. Ny. Rourke mengatakan bahwa ia tidak bisa mengingatnya lagi. Dia hanya tersenyum dan mengatakan: “Rasanya saya masih mengingat mereka semua dan masih mencintai mereka seperti dulu sewaktu mereka masih remaja! Ah, betapa menyenangkan anak-anak itu”

Penutup
Alkisah, ada seorang yang terperosok ke dalam lubang. Orang itu berteriak minta tolong. Kebetulan ada pejalan kaki lewat dekat lubang itu. Ia menolong tetapi tangannya tak mampu menggapai orang itu. Dengan menyesal dia pergi. Tak berapa lama lewat pula seorang dengan tongkat. Ia pun menolongnya dengan tongkat. Apa daya ketika hampir terangkat, tongkat itu patah. Lewat pula seorang rabi. Dia mendengar rintihan orang itu dan masuk ke lubang lalu menyuruh naik lewat pundaknya sambil berkata: “Pergilah dengan damai”.






Selasa, 03 April 2012

HIV DAN AIDS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN

OPINI
HIV DAN AIDS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN
Emmy Sahertian
Caretaker Direktur Eksekutif Yayasan PALMA

Pendahuluan

Berbicara tentang AIDS dari sudut pandang iman Kristen tidak terlepas dari bagaimana pergumulan gereja-gereja menghadapi epidemik AIDS yang telah menghancurkan hidup dari hampir sebagian penduduk bumi ini. Pertanyaan mendasar yang selalu muncul dibenak umat adalah "Mengapa Tuhan Allah mengizinkan virus HIV hidup?" "Apakah AIDS merupakan kutukan Allah kepada manusia yang telah melakukan dosa perzinahan?"
Pertanyaan-pertanyaan diatas telah mendorong sebagian besar umat, yang juga adalah basis masyarakat, menarik garis hitam antara mereka dengan para penderita HIV/ AIDS. Dalam catatan para relawan kemanusiaan ternyata sikap tersebut justru telah melahirkan tindakan diskriminatif, isolasi, perlakuan yang tidak berperikemanusiaan serta ketakpedulian terhadap para penderita. Penderita AIDS diposisikan sebagai manusia "pendosa". Opini moral ini tampaknya lebih berbahaya dari virus HIV itu sendiri.
Menyadari akan kondisi demikian maka Dewan Gereja-gereja se-Dunia, melalui komisi kesehatannya mengadakan suatu studi teologis mendalam tentang isu HIV/ AIDS agar menjadi pedoman bersama gereja-gereja sedunia, lebih khusus lagi bagi umat secara individu. Dasar iman Kristen yang menjadi dasar menyikapi epidemik AIDS adalah : Bagaimana kita memahamai teologi Penciptaan, tubuh dan seksualitas manusia, teologi penderitaan dan kematian, pengharapan dan kebangkitan dengan pola pendekatan pelayanan yang dilakukan oleh Yesus Kristus dalam KASIH.
Teologi Penciptaan.
Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama melukiskan bahwa semua yang disebut sebagai makhluk hidup selalu berada dalam suatu relasi : Relasi antara Tuhan dan manusia serta makhluk lain, baik manusia dan non-manusia, relasi antara sesama makhluk hidup, baik manusia dan non-manusia. "Relasi" tersebut merupakan simpul yang menentukan kualitas kehidupan secara utuh (tubuh, jiwa, roh, dan sosial). Relasi yang merupakan inisiatif Allah dengan ciptaannya berjalan secara konstan, dan tidak pernah berhenti, meskipun sering makhluk ciptaan-Nya menghentikan atau murtad. Salah satu cirikhas keilahian Allah adalah setia dalam relasi dengan makhluknya di samping kasih, adil dan berdaulat atas ciptaan-Nya.
Relasi Allah dengan makhluk ciptaan-Nya adalah relasi yang dinamik. Artinya makhluk ciptaan-Nya diberi ruang untuk bergerak dan bertumbuh dalam kebebasan tetapi yang bertanggungjawab terhadap panggilan hidupnya. Dalam relasi yang dinamik inilah maka manusia yang bebas tersebut menjadi berisiko tinggi untuk jatuh ke dalam dosa (Kej.3).
Kitab Kejadian melukiskan secara realistik bahwa manusia sebagai mahkota ciptaan dalam kebebasannya selalu memilih jalan yang penuh risiko berujung pada maut atau jatuh ke dalam dosa. Hal ini mempengaruhi harmonisasi relasi baik antara manusia dengan Allah maupun antar sesama makhluk. Terjadi penindasan, pembunuhan, ketidak adilan, ketimpangan alam yang membuat manusia menderita. Dalam kondisi yang demikian manusia mengalami penderitaan yang komprehensif (fisik, jiwa, roh dan sosial). Manusia dihadapkan dengan maut dan kematian. Sejak itu bumi dan segala isinya berada pada kondisi yang sangat berisiko tinggi untuk menderita. Disebut sebagai bumi yang sakit dan membutuhkan penyelamatan atau penyembuhan. Dalam kerangka inilah maka HIV/ AIDS menjadi bagian dari bentuk penderitaan dunia itu.
Pemahaman Tentang Tubuh dan Seksualitas Manusia
Alkitab melukiskan bahwa tubuh manusia adalah suatu keajaiban sakral yang membuktikan kebesaran Allah dalam seluruh ciptaanNya, sehingga tubuh manusia seyogianya adalah apa yang disebut Paulus sebagai "Bait Allah", wadah untuk memuliakan Allah, suatu 'value' yang merupakan identitas manusia itu sendiri.
Seksualitas manusia adalah bagian integral dari identitas manusia, suatu anugerah dari Allah yang menandai keunikan dan kekhususan perempuan dan laki-laki yang diekspresikan dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan yang sangat personal atau hubungan intim atau "erotic". Alkitab melukiskan bahwa fungsi sosial seksualitas manusia adalah untuk menjadi mitra dalam mengelola bumi secara adil, dan penuh cinta kasih. Dalam hubungan personal atau hubungan intim antara laki-laki dan perempuan yang paling fundamental adalah untuk ekspresi cinta kasih yang paling tinggi dan mendalam, melaluinya terjadi prokreasi.
Dalam konteks ekspresi cinta kasih yang mendalam untuk prokreasi ini maka Allah mempercayakan fungsi regenerasi atau penciptaan generasi baru sebagai umat ciptaan Allah. Manusia laki-laki dan perempuan dalam kebebasannya mengekspresikan melalui berbagai cara yang kudus dan sehat. Namun kenyataannya, kebebasan tersebut tidak dapat dipahami dan dikelola secara bertanggung jawab sehingga berdampak pada kekacauan yang menimbulkan penyakit dan penderitaan. Oleh sebab itu upaya keselamatan Allah pun menyentuh masalah-masalah ini. Hal ini tercermin dalam sikap Kristus terhadap mereka yang sakit dan yang tertuduh sebagai orang-orang yang menyimpang dari moral agama saat itu (sakit kusta, keadilan jender, lumpuh, pekerja seks dan pemungut cukai, dll). Ada suatu pemahaman dinamis tentang tubuh manusia dan seksualitasnya dan tidak menyangkal bahwa adanya tantangan dan pergumulan dalam mengendalikan kecenderungan yang merusak di mana perlu ditolong dan diselamatkan.

Teologi Penderitaan dan Kematian, Pengharapan dan Kebangkitan

Bagi pemahaman Kristiani, Allah adalah Allah pemelihara dan penuh kasih setia. Oleh karena itu Ia tetap memelihara relasi dengan makhluk-Nya. Hal itu dimanifestasikan melalui tindakan keselamatan kepada manusia. Ia membuka jalan keselamatan bagi manusia dan kemudian mendidik umatnya untuk kembali ke jalan yang benar (bertobat). Berbagai upaya dilakukan yakni memanggil dan mengutus utusan-utusan-Nya, para imam, para nabi dan para hakim untuk mengoreksi, menegur dan mengasuh ciptaan-Nya. Mereka menjalani tugas imamat yakni menjadi penghubung antara Allah dan CiptaanNya, juga menjalani tugas profetis yakni menyuarakan Firman Allah untuk menegur dan mengoreksi serta mengasuh moral umat sebagai bentuk tanggung jawab atas panggilan hidupnya yang bebas atau independen. Hal yang paling nyata adalah tindakan solidaritas Allah terhadap mereka yang menderita.
Bentuk solidaritas Allah dalam penderitaan manusia yang paling puncak adalah dalam Yesus Kristus. Melalui Kristus, Allah bersentuhan langsung dengan penderitaan dan kematian. Dalam Kristus, Allah merawat umat-Nya. Dalam Kristus, kasih dan pengampunan Allah menjadi nyata. Dalam Kristus, maut dikalahkan melalui kebangkitan-Nya.
Melalui Kristus, Allah menggembalakan umat-Nya, khususnya mereka yang sedang terpuruk dalam belukar kehidupan. Bersama para murid pilihan la mengunjungi, melawat, melayani dan mengampuni semua orang yang sedang dalam penderitaan, tanpa pamrih. Dengan demikian mereka yang ditemuiNya memperoleh hidup yang lebih bermakna dan bermartabat. Mereka merupakan "the caring/ healing community", suatu komunitas peduli yang memulihkan sesama yang melintas batas budaya, agama, status sosial bahkan moral. Disini Yesus mengembangkan pola pelayanan seorang gembala: membimbing, mengasuh, mendamaikan, menopang, merawat dan menyembuhkan.
Inilah kerangka dasar sikap Kristiani dalam menghadapi HIV/ AIDS yakni mengambil pola pelayanan Kristus. Bagaimana menjadi "the caring/ healing community" bagi sesama yang sedang terpuruk dalam belukar.
Dalam kerangka pemahaman iman ini maka epidemik HIV/ AIDS bukanlah kutukan Allah, tetapi resiko dari kebebasan manusia yang hidup dalam dunia yang menderita dan sakit. Manusia akan selalu terjebak dan dijebak dalam lilitan itu. Dan untuk mengeluarkannya dari belitan tersebut hanyalah kasih dan pengampunan Allah sajalah yang sanggup mengalahkan maut dan membangkitkan manusia dari keterpurukannya. Dalam terang pemahaman ini maka World Council of Churches menyerukan bahwa:
A. Gereja dalam kapasitas sebagai komunitas peduli dalam rangka merespon epidemik HIV dan AIDS :

  • Meminta perhatian gereja-gereja untuk mengembangkan suatu iklim dan tempat yang penuh cinta kasih, penerimaan, dan dukungan bagi mereka yang rentan atau yang telah terkena HIV/ AIDS tanpa memandang latar belakang agama,suku, status sosial maupun keberadaan personal seseorang.
  • Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi pada basis pemahaman teologinya dalam rangka merespons tantangan HIV/ AIDS.
  • Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi masalah-masalah etik yang timbul karena pandemik ini, bagaimana menginterpretasikannya ke dalam konteks lokal dan menawarkan panduan bagi mereka yang menghadapi kesulitan dalam menentukan pilihan.
  • Meminta perhatian gereja supaya terlibat aktif dalam berbagai diskusi di masyarakat mengenai isu-isu etik yang muncul karena HIV/ AIDS, dan mendukung warga jemaatnya, khususnya yang melayani dibidang kesehatan, yang menghadapi kesulitan menentukan keputusan etis dalam hal pencegahan dan perawatan.
Kesaksian gereja dalam hubungannya dengan masalah langsung HIV/ AIDS:
  • Meminta perhatian gereja-gereja untuk melayani sebaik mungkin mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS.
  • Meminta perhatian gereja untuk memberikan perhatian khusus bagi bayi dan anak-anak yang hidup dengan HIV/ AIDS dan mencari jalan keluar dalam membangun lingkup yang mendukung.
  • Meminta perhatian gereja untuk membantu melindungi hak-hak mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS, mempelajari, mengembangkan dan mempromosikan HAM dari ODHA. Meminta perhatian gereja untuk memberikan informasi yang akurat tentang HIV/ AIDS, mempromosikan kondisi yang memungkinkan diskusi terbuka dalam rangka menanggulangi penyebaran informasi yang salah yang bisa mengakibatkan reaksi takut.
  • Meminta perhatian gereja untuk meningkatkan advokasi dan dukungan bagi upaya yang telah dilakukan pemerintah dan fasilitas kesehatan untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang ada baik masalah sosial maupun medis.
  • Gereja tidak boleh lagi tabu dalam memberikan informasi dan edukasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi pada kelompok umur dengan pendekatan dan metodologi yang bertanggung jawab, sebab penyelamatan Allah secara holistik menyangkut tubuh dan berbagai dimensinya, mental, rohani dan sosial, bukan hanya rohani saja.
Kesaksian Gereja sehubungan dengan masalah yang berkepanjangan dan faktor-faktor yang dapat memberikan pengharapan.

􀂃 Meminta perhatian gereja-gereja untuk menyadari, mengakui bahwa ada hubungan antara AIDS dan kemiskinan, dan mengadvokasi upaya promosi keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.

􀂃 Meminta perhatian gereja untuk memberi perhatian khusus pada situasi yang dapat memperluas kerentanan terhadap AIDS seperti isu pekerja migran, pengungsian darurat dalam jumlah besar serta isu aktifitas seks komersial.

􀂃 Lebih khusus lagi, gereja-gereja perlu bekerja sama dengan kelompok perempuan di mana selama ini mereka berjuang untuk hak dan martabat mereka serta mengaktualisasikan keterampilan mereka secara maksimal.

􀂃 Meminta perhatian gereja-gereja untuk membina dan melibatkan kaum muda dan para pria dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/ AIDS

􀂃 Meminta perhatian gereja-gereja untuk memahami secara penuh tentang anugerah seksualitas manusia dalam konteks pertanggung jawaban personal, relasi dengan orang lain, keluarga dan iman Kristen.

􀂃 Meminta perhatian gereja-gereja untuk memperhatikan pandemik penyalah gunaan NAPZA dan bagaimana peranannya dalam penyebaran HIV/ AIDS, serta mengembangkan program yang efektif dalam hal perawatan, penurunan adiksi, rehabilitasi dan pencegahan.

Penutup
Akhirnya saya menyunting apa yang dikatakan Kristus kepada para muridNya sebagai basis AIkitabiah pemahaman Kristiani dalam menyikapi HIV/ AIDS yaitu Mat. 25: 35-36 dan 45: 35-36: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu merawat Aku; ketika Aku di dalam penjara kamu mengunjungi Aku (Mat. 25: 35-36). Dan 45: 35-36: “Maka la akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” Suatu identifikasi empatis bersama mereka yang paling hina dan menderita sebagai etika pelayanan Kristiani yang berporos pada Kristus.
Referensi:
1. Palma & PGI. Peran Gereja menghadapi AIDS, terjemahan atas publikasi WCC: Facing AIDS, The Challenge, The Churches'Response, Jakarta, 1997
2. AIDS Working Group WCC, Guide to HIV/ AIDS Pastoral Counseling, Geneva, 1990
3. Report of LWF Youth Consultation, Malaysia, November, 2001
4. Report of LWF Pan Africa Leadership Consultation on HIV/ AIDS. Nairobi, May. 2002 25
5. Report of LWV Asian Leadership, Consultation on HIV/AIDS, Batam, December 2003
6. Rencana Kerja Kelompok Kerja HIV/ AIDS Biro Pemuda PGI, .Iakarta, 1996
7. Catatan Pengembangan Kegiatan Biro Pemuda PGI untuk HIV/ AIDS dan Narkoba, Jakarta, 2004
8. Dokumen penyadaran dan pelatihan pen-cegahan dan penanggulangan HIV/AIDS Yayasan PALMA. Jakarta, 1996-2004-07
9. Spritia Foundation, Documentation of 'Human Rights Violations against People Living with HIV/ AIDS in Indonesia, A Peer-Group Documentation Project, Jakarta. 26

RESPON AGAMA ISLAM TERHADAP PROBLEM SOSIAL PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DAN NARKOBA

OPINI
RESPON AGAMA ISLAM TERHADAP PROBLEM SOSIAL
PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DAN NARKOBA 
Maria Ulfah Anshor
Ketua Pimpinan Fatayat NU Periode 2000-2004


Latar Belakang dan Masalah

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome-sindrom cacat kekebaIan tubuh dapatan) bukan merupakan penyakit (disease) tetapi cacat karena sistem kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Syndrome Virus). Didalam tubuh manusia terdapat sel-sel darah putih yang berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh (Immune system) untuk menangkal berbagai penyakit. Setiap virus, kuman dan bakteri yang masuk ke dalam aliran darah akan dilawan oleh sel-sel darah putih yang ada di dalam tubuh kita sehingga mati dan tubuh kita sembuh dari berbagai penyakit. Tetapi virus HIV tidak bisa dilumpuhkan oleh sel-sel darah putih karena virus HIV memproduksi sel sendiri yang dapat merusak sel darah putih dan merupakan sejenis retrovirus yaitu virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia. Virus HIV terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina dan dapat menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Gejala AIDS baru bisa diketahui 5-10 tahun seteIah tertular HIV, karena orang yang sudah terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala spesifik apapun bahkan sesudah masa AIDS.
Adapun cara penularan virus HIV terjadi melalui empat macam: pertama, melalui hubungan seksual dengan seorang pengidap HIV tanpa perlindungan/ kondom. Ini hisa terjadi karena saat berhubungan seksual sering terjadi lecet-lecet yang ukurannya sangat kecil hanya bisa dilihat dengan mikroskop pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut yang dapat menyebabkan virus HIV masuk ke dalam aliran darah pasangannya. Kedua, HIV dapat menular melalui tranfusi darah yang sudah tercemar HIV. Ketiga, melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dikandungnya.
Penularan terjadi saat darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan darah atau cairan anaknya di saat proses melahirkan, dan bukan menular melalui air ketuban atau bahan tumbuh yang diterima bayi dari ibunya melalui pusar selama berada dalam kandungan. Keempat, melalui pemakaian jarum suntik, akupunktur, jarum tindik, dan peralatan lain yang sudah dipakai oleh orang yang terinfeksi. Dengan mengetahui cara penularannya HIV sebenarnya bisa dicegah dengan langkah yang tepat, yaitu menggunakan kondom bila berhubungan seksual dengan orang yang diketahui maupun tidak diketahui status HIV-nya, screening darah atau menghindari 1 Lihat Pers Meliput AIDS oleh Syaiful W. Harahap diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta tahun 2000, penggunaan darah yang terinfeksi serta pemakaian alat yang sudah disterilisasi dan menggunakan jarum yang sekali pakai.
HIV/ AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 pada seorang turis Belanda yang meninggal di Bali. Setahun kemudian ditemukan pula warga negara Indonesia yang pertama, seorang laki-laki berusia 35 tahun meninggal pula karena AIDS di Bali. Setelah itu penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dan penyebarannya hampir di semua propinsi meskipun dengan prevalensi yang tergolong rendah. Data tahun 1997-1999 ditemukan sebanyak 933 kasus, terdiri dari HIV sebanyak 680 dan AIDS sebanyak 253 kasus.
Dari data tersebut 60,6 % diantaranya adalah laki-laki, 35,7 % perempuan dan 3,7 % tidak diketahui jenis kelaminnya.4 Pada tahun 2001 meningkat sebanyak 2.575 kasus, 671 di antaranya AIDS. Dan hingga 31 Maret 2003, sebanyak 3.614 kasus, terdiri dari 2.556 HIV positif dan 1.058 AIDS (dari berbagai sumber). Jumlah yang tercatat tersebut jauh lebih kecil jika dibanding dengan prevalensi yang sesungguhnya, karena ada fenomena gunung es, dimana penderita masih menyembunyikan bahwa dirinya terinfeksi.
Dalam perkembangan HIV/ AIDS sejak pertama ditemukan kecenderungannya menggambarkan bahwa di negara-negara miskin dan negara berkembang jumlahnya terus meningkat seperti di Afrika, Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara kecuali Thailand. Ini berbeda dengan di negara-negara maju yang grafiknya mulai mendatar. Penurunan kasus tersebut bukan karena faktor obat atau vaksin tetapi karena keberhasilan strategi penanggulangan yang efektif ditunjang oleh pendidikan dan kesadaran yang tinggi dalam menggunakan kondom sebagai salah satu cara pencegahan, sehingga mampu mengurangi penyebaran HIV. Sementara biaya perawatan bagi ODHA dari kelompok masyarakat tidak mampu menjadi tanggung jawab Negara. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Meskipun tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Negara, tetapi setidaknya ada kebijakan yang dapat memfasilitasi upaya peningkatan ekonomi bagi ODHA dan keluarganya agar dapat membeli obat untuk menjaga kondisi tubuhnya.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS

Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin), dengan seperangkat tata nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Salah satunya adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al Isra/ 16
I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan (dari Islam) yang meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan dalam Al-Qur'an surat 7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit menular seksual. Padahal bila dilihat dari cara penularannya HIV/ AIDS sesungguhnya bukan merupakan penyakit seksual, karena orang yang tidak melakukan hubungan seks dengan penderita HIV pun bisa tertular seperti penularan melalui transfusi darah, jarum suntik, pisau cukur, dan sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat tersebut harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/ AIDS hingga saat ini masih kontroversial karena dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya. Pandangan tersebut menurut saya tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom sama dengan membiarkan penularan HIV. Apalagi kalau hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibanding kalau menggunakan kondom.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.
Dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Kelompok masyarakat miskin termasuk yang rentan pula tertular HIV/AIDS, karena perilaku masyarakat baik dalam pelayanan kesehatan, di sekolah, di tempat kerja, di tempat-tempat umum masih mendiskriminasikan ODHA, apalagi yang berasal dari keluarga miskin. Orang yang miskin semakin dimiskinkan karena tertular HIV/ AIDS. Dan dari kelompok yang miskin tersebut yang paling miskin dan menderita adalah kaum perempuan, karena secara ekonomi umumnya mereka bergantung pada suami atau pasangan yang juga umumnya miskin.
Selain itu, menciptakan suasana yang kondusif dengan cara meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap upaya menanggulangi HIV/ AIDS dengan melibatkan semua institusi yang terkait baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, dunia usaha serta lembaga masyarakat dan LSM.

Perempuan dan HIV/ AIDS.
Meskipun data di atas menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih kecil dibanding jumlah laki-laki, namun tidak berarti perempuan lebih aman atau lebih kebal dibanding laki-laki. Justru sebaliknya perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap penularan HIV/ AIDS, karena secara sosiologis faktanya menunjukkan bahwa hingga saat ini ketimpangan gender masih mengakar di dalam masyarakat. Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada suaminya atau pasangannya dapat memfasilitasi penyebaran HIV. Perilaku yang masih me-nomor dua-kan pelayanan kesehatan bagi perempuan setelah anggota keluarganya yang lain, relasi seksual yang masih didominasi laki-laki, rendahnya bargaining perempuan dalam penggunaan kondom bagi pasangannya, pandangan bahwa penyakit-penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksi dianggap memalukan, penyakit kotor dan sebagainya, membuat perempuan rentan terhadap penularan HIV/ AIDS.
HIV/ AIDS, perempuan dan ketimpangan gender seharusnya tidak dilihat secara terpisah karena masing-masing memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Perempuan menjadi sangat rentan dengan penularan HIV karena adanya relasi yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan. Karena relasi yang tidak berimbang mengakibatkan posisi tawar perempuan rendah, dan akibat posisi tawar perempuan rendah maka perempuan semakin mudah tertular HIV. Oleh karena itu, strategi penanggulangan HIV/ AIDS harus sensitif gender, supaya menyentuh akar persoalan yang menyebabkan perempuan berisiko tertular HIV/ AIDS.
Dalam bab tiga halaman 10 (sepuluh) Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003-2007 memang disebutkan salah satu kegiatannya untuk menurunkan kerentanan yaitu "melalui peningkatan pendidikan, ekonomi dan penyetaraan gender".5 Namun pernyataan tersebut masih sangat umum karena tidak ada penjelasan kegiatannya seperti apa. Perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/ AIDS tidak bisa ditanggulangi hanya dengan pendekatan umum tetapi membutuhkan pendekatan yang spesifik dengan strategi khusus yang mampu membongkar akar penyebabnya.
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS harus melibatkan perempuan dengan strategi pencegahan dan penanggulangan secara holistik, yakni pencegahan HIV tidak hanya dari sisi medis, tetapi dari berbagai dimensi yang secara langsung maupun tidak dapat menjadi faktor penentu terhadap penularan HIV/ AIDS. Termasuk di dalamnya dampak kebijakan-kebijakan pembangunan nasional yang mengakibatkan akses perempuan secara ekonomi dibatasi, terbatasnya peluang kerja bagi perempuan, menyebabkan perempuan migrasi ke kota bahkan ke luar negeri karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan sebagainya.
Dalam bentuk mikro misalnya melakukan analisis terhadap pola hubungan gender yang timpang, relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan, mengapa pendidikan perempuan rendah, perempuan menjadi miskin, perempuan menjadi korban kekerasan, perempuan menjadi objek eksploitasi seksual dan sebagainya. Kondisi tersebut merupakan akar permasalahan yang mengakibatkan perempuan rentan terhadap nenyebaran HIV. Dari situ diharapkan penyebaran HIV/ AIDS yang terjadi karena faktor ketimpangan gender, kemiskinan struktural pada perempuan dan sebagainya dapat teratasi.

Kesimpulan dan Penutup
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS harus dilakukan secara bersama-sama dan bersinergi oleh seluruh komponen masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai moral atau nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari ajaran agama. Mudah-mudahan dengan kebersamaan di antara kita harapan untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan terjadinya penularan HIV/ AIDS berjalan dengan lebih baik.

Daftar Bacaan

Harahap, Syaiful W., Pers Meliput AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003-2007.
Maria Ulfah Anshor, HIV/AIDS Prevention Through The Religious Approach in Nahdlatul Ulama, Kualalumpur: 5th International Congress on HIV/ AIDS in Asia Pasific, Oct 23-27, 1999.
Mukhotib MD, Mengurai Sikap Pesantren Terhadap Isu HIV, Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat NU, 2002
Siyaranamual, R. Siyaranamual, Etika dan Hak Pewabahan HIV/ AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Syahlan dkk, AIDS dan Penanggulangannya: Bahan Bacaan untuk Peserta Didik Keperawatan, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997. 19
UN AIDS, Summary Booklet of Best Practices, Geneva: Joint United Nation Programme on HIV/ AIDS (UNAIDS), 1999.
Zubairy Djoerban, HIV/ AIDS dan Hak Asasi Manusia, membidik AIDS, Yogyakarta: Galang Press, 2000. 20